Blog Siapa Syiah, mengungkap siapa syiah sebenarnya

Aqidah Syiah Rafidhah tentang Nikah Mut’ah dan Keutamaannya

Nikah Mut’ah
Mut'ah[1] memiliki keistimewaan yang besar dalam aqidah Rafidhah kita berlindung kepada Allah dari kesesatan ini Dikatakan dalam buku Minhajus Shadiqin yang ditulis oleh Fathullah al-Kasyani, dari ash-Shadiq: “Mut'ah adalah bagian dari agamaku, agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkannya berarti ia mengamalkan agama kami.

Barangsiapa yang mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut'ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut'ah adalah kafir dan murtad.”[2]

Dinukil oleh al-Qummi dalam bukunya Man laa Yahdhuruhul Faqih, dari Abdillah bin Sinan, dari Abi Abdillah, ia berkata, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang-orang Syi'ah segala minuman yang memabukkan, dan menggantikan bagi mereka dengan mut'ah.”[3]

Disebutkan dalam Tafsiir Minhajus Shadiqin karangan Mulla Fathullah al-Kasyani bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut'ah sekali, maka dia telah merdeka dari neraka sepertiga jiwanya. Barangsiapa melakukannya dua kali, maka dua pertiga jiwanya telah terbebas dari neraka. Barangsiapa melakukannya tiga kali, maka telah sempurna terbebas dari neraka.”

Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut'ah sekali, maka dia telah selamat dari murka Allah Yang Mahaperkasa. Barangsiapa melakukannya dua kali, maka akan dikumpulkan bersama orang-orang shalih. Barangsiapa melakukannya tiga kali, maka akan berdesak denganku di surga-surga.”

Juga dikatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa melakukan nikah mut'ah sekali, maka dia telah mendapatkan derajat seperti Husain. Barangsiapa melakukannya dua kali, maka derajatnya seperti Hasan. Barangsiapa melakukannya tiga kali, maka derajatnya seperti Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa bermut'ah empat kali, maka derajatnya seperti derajatku.”[4]

Rafidhah tidak membatasi dengan jumlah tertentu dalam mut'ah. Disebutkan dalam buku Furu'ul Kaafi, at-Tahdzib dan al-Istibshar, dari Zurarah, ia bertanya kepada Abu Abdillah: “Berapa jumlah wanita yang boleh dimut'ah, apakah hanya empat wanita?” Ia menjawab: “Nikahilah (dengan mut'ah) seribu wanita, karena mereka adalah wanita-wanita sewaan.”

Dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far, ia berpendapat tentang mut'ah, bahwa ia tidak hanya terbatas pada empat wanita, karena mereka tak perlu dicerai, tidak diwarisi, karena mereka adalah wanita sewaan.[5]

Bagaimana kita bisa menerima dan membenarkan nikah seperti ini, sementara Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿29﴾ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٣٠﴾فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٣١﴾ المعارج
 
 “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminun: 5-7)

Dari ayat di atas jelas, bahwa yang diperbolehkan untuk disetubuhi adalah istri yang sah, dan hamba sa-haya yang dimilikinya, selain dari itu diharamkan. Wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan, bukan istri, tidak mendapat warisan dan tidak perlu dicerai, berarti wanita ini adalah pelacur semoga Allah melindungi kita dari hal ini.

Syaikh Abdullah bin Jibrin berkata, “Orang-orang Rafidhah menghalalkan nikah mut'ah berdalil dengan ayat:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٢٤﴾


“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, maka berikanlah ke-pada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (An-Nisa: 24)

Untuk menjawab dalil mereka, maka bisa dikatakan, ayat-ayat di bawah ini sampai dengan ayat yang dijadikan sandaran oleh orang Syi’ah, adalah berbicara masalah nikah yang sebenarnya dimulai dengan ayat:
لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا﴿١٩﴾ النساء

 “Tidak halal bagi kamu, mempusakai wanita de-ngan jalan paksa.” (An-Nisa:19)

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ﴿20﴾ النساء

 “Dan jika ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain.” (An-Nisa: 20)
Sampai dengan ayat:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ﴿22﴾ النساء
 “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.” (An-Nisa: 22)
Kemudian ditambah lagi dengan ayat:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ﴿23﴾ النساء
 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu-mu.” (An-Nisa: 23)
Setelah Allah menyebutkan jumlah wanita yang haram dinikahi baik disebabkan nasab keturunan atau sebab lainnya. Allah  berfirman:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ﴿24﴾ النساء
 “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demi-kian.” (An-Nisa: 24)
Maksudnya selain wanita yang disebutkan di atas, atau dibolehkan bagi kalian menikahi wanita-wanita lainnya.

Dan jika kalian menikahi mereka (selain yang disebutkan di atas) untuk kalian setubuhi, maka berikan maharnya yang telah kalian tentukan untuknya, dan jika mereka (para istri) membebaskan sebagian dari maharnya dengan kerelaan hati, maka tidak berdosa engkau menerimanya.”

Inilah sebenarnya tafsir dari ayat tersebut sesuai dengan penafsiran mayoritas sahabat Nabi dan para ulama tafsir sesudahnya.[6]

Lihatlah salah satu tokoh mereka yaitu at-Thuusiy dalam bukunya Tahdzibul Ahkam, sebenarnya menganggap jijik dengan nikah mut'ah ini seraya mencelanya. Dia berkata: “Bila wanita ini dari kalangan ke-luarga mulia tidak boleh dinikahi secara mut'ah, karena ini akan menjadikan keluarganya tercemar dan wa-nita itu menjadi hina.”[7]

Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan mereka memperbolehkan menyetubuhi wanita melalui duburnya. Disebutkan dalam buku al-Istibshar yang diriwayatkan dari Ali bin al-Hakam, ia berkata, “Saya pernah mendengar Shafwan berkata, “Saya berkata kepada ar-Ridha, “Seorang lelaki dari mantan budakmu meminta saya untuk bertanya kepadamu tentang suatu masalah, karena ia malu menanyakan langsung kepadamu.” Maka ia berkata, “Apa masalah itu?” Ia menjawab, “Bolehkah seorang laki-laki menyetubuhi istrinya melewati duburnya?” Ia menjawab, “Ya, boleh baginya.”[8]

------------------------------------------------------------------------

[1] Mut'ah adalah nikah kontrak dalam waktu tertentu. Bila sudah habis masanya, maka terputuslah ikatan pernikahan tersebut.
[2] Mulla Fathullah al-Kasyani, Minhajus Shadiqin, 2/495
[3] Ibnu Babawaih al-Qummi, Man laa Yahdhuruhul Faqih, hal. 330
[4] Mulla Fathullah al-Kasyani, Tafsir Manhajis Shadiqin, 2/492, 493
[5] Al-Furu' minal Kaafi, 5/451, at-Tahdzib, 2/188
[6] Penjelasan dari Syaikh Abdullah bin Jibrin, dalil lain dari as-Sunnah tentang pengharaman nikah mut'ah adalah hadits ar-Rabi' bin Saburah al-Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bersama Nabi, beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
"Wahai manusia, sesungguhnya saya pernah membolehkan bagi kalian nikah mut'ah. Ketahuilah, bahwa Allah telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat, maka barangsiapa masih me-miliki, hendaklah melepaskannya dan jangan kalian ambil sedi-kitpun dari apa yang telah kalian berikan." (HR. Muslim, no. 1406)
[7] At-Thuusiy, Tahdzibul Ahkam, 7/ 227
[8] Al-Istibshar, 3/243

Sumber: dd-sunnah.net

0 komentar:

Posting Komentar