Blog Siapa Syiah, mengungkap siapa syiah sebenarnya

Benarkah Kaum Syiah Mencintai Ahlul Bait? (Bukti-Bukti Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait)

ahlul bait
Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.

Benarkah kaum Syi’ah mencintai Ahlul Bait?

Mari kita melihat bagaimana sebenarnya kecintaan kaum Syi’ah kepada Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu sendiri terhadap kaum Syi’ah.

Definisi Ahlul Bait

Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk membatasi Ahlul Bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû, Fathimah radhiyallâhu‘anhâ, Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ, dan Al-Husain radhiyallâhu ‘anhumâ. Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû dalam hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3) Ja’far Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad Al-Jawwâd, (7) Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi mereka, (9) Muhammad Al-‘Askar. [Al-Anwâr An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr Al-Anwâr 35/333, dan selainnya. Bacalah Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Hakikat definisi kaum Syi’ah tentang Ahlul Bait di atas adalah celaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum.

Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia menjadi murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang.” Saya (perawi) bertanya, “Siapakan tiga orang itu?” Beliau menjawab, “Al-Miqdad, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy ….” [Raudhah Al-Kâfy 8/198]

Juga datang sebagian riwayat mereka tentang pengecualian untuk tujuh orang, yang Al-Hasan dan Al-Husain tidak tersebut dalam pengecualian itu.

Mereka meriwayatkan dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû bahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi meninggal dan beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly hal. 726 karya Ash-Shadûq]

Kaum Syi’ah juga tidak mengakui putri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai Ahlul Bait beliau, kecuali Fathimah saja. Mereka berkata, “Ahli tarikh menyebut bahwa Nabi (sha) memiliki empat putri. Berdasarkan urutan kelahirannya, mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Namun, menurut penelitian cermat tentang nash-nash tarikh, kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan (keberadaan) anak (untuk beliau), kecuali Az-Zahrâ` (‘ain), Bahkan, yang tampak adalah bahwa anak-anak perempuan yang lain adalah anak-anak Khadijah dari suaminya yang pertama sebelum Nabi Muhammad (sha) ….” [Dâ`irah Al-Ma’ârif Al-Islâmiyah Asy-Syi’iyyah 1/27 karya Muhsin Al-Amin]

Demikianlah kedunguan kaum Syi’ah dalam menentang Allah Ta’âlâ, padahal Allah menyebut anak-anak perempuan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan konteks jamak yang menunjukkan jumlah lebih dari tiga sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin bahwa hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ….” [Al-Ahzâb: 59]

Kaum Syi’ah juga tidak memasukkan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam lingkup Ahlul Bait, padahal ayat tentang keutamaan Ahlul Bait asalnya ada dalam konteks penyebutan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman-Nya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا. وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka, janganlah kalian lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap berada di rumah-rumah kalian, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu, serta dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa-apa yang dibacakan di rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzâb: 32-34]

Kebencian kaum Syi’ah terhadap para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangatlah besar, terkhusus terhadap Aisyah dan Hafshah radhiyallâhu‘anhmâ, sehingga salah seorang pembesar mereka dari Hauzah, Sayyid Ali Gharwy, berkata, “Sesungguhnya, sebagian kemaluan Nabi harus masuk ke dalam neraka karena beliau telah menggauli sebagian perempuan musyrik.” [Disebutkan dalam Kasyful Asrâr hal. 21 karya Husain Al-Musawy]

Mereka juga tidak memasukkan anak-anak Ali bin Abi Thalib –kecuali Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ – ke dalam golongan Ahlul Bait, padahal Ali memilliki beberapa anak selain Al-Hasan dan Al-Husain, yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Al-‘Abbâs, Ja’far, Abdullah, ‘Ubaidullah, dan Yahya. [Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]

Kaum Syi’ah juga tidak menganggap anak-anak Al-Hasan sebagai Ahlul Bait sebagaimana mereka juga tidak menganggap anak-anak Al-Husain sebagai Ahlul Bait, kecuali Ali Zainul ‘Abidin. Padahal, Al-Husain memiliki anak yang bernama Abdullah dan Ali (lebih tua daripada Ali Zainul ‘Abidin) yang keduanya ikut mati syahid bersama Al-Husain di Karbalâ`. [Huqbah Min At-Târikh hal. 242 karya Utsman Al-Khumayyis]
Sebagaimana pula, mereka juga tidak menganggap Bani Hasyim sebagai Ahlul Bait, padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memasukkan mereka ke dalam lingkup Ahlul Bait sebagaimana dalam kisah Abdul Muthlib bin Rabî’ah bin Harits bin Abdul Muthlib dan Al-Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthlib, yang meminta untuk dipekerjakan terhadap harta sedekah agar keduanya memperoleh upah untuk menikah maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya sedekah tidaklah pantas bagi keluarga Muhammad. Hal tersebut hanyalah kotoran-kotoran manusia.” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Bahkan, kaum Syi’ah menyebut bahwa Ali bin Abi Thalib berdoa, “Ya Allah, laknatlah dua anak Fulan -yaitu Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbâs, sebagaimana dalam catatan kaki-. Butakanlah mata keduanya sebagaimana engkau telah membutakan kedua hati mereka ….” [Rijâl Al-Kisysyi hal 52]
Juga sebagaimana mereka menghinakan ‘Âqil dan Al-‘Abbâs dalam sejumlah riwayat mereka.

Beberapa Penghinaan kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait[1]

Tidak pernah suatu hari pun kaum Syi’ah mencintai dan menaati Ahlul Bait. Bahkan, buku-buku mereka telah menetapkan penyelisihan dan penentangan mereka terhadap Ahlul Bait.

Perhatikanlah kelancangan mereka terhadap Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat mereka, bahwa Ali memperbandingkan antara dirinya dan diri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ali berkata, “Aku adalah pembagi Allah antara Surga dan Neraka. Aku adalah pembeda terbesar. Aku adalah pemilik tongkat dan misam. Sungguh seluruh malaikat dan rasul telah mengakui untukku apa yang mereka diakui untuk Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Sungguh aku telah dibebani seperti beban Ar-Rabb. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi akan dipanggil kemudian diberi pakaian, Aku juga dipanggil kemudian diberi pakaian. Beliau diminta berbicara dan Aku juga diminta berbicara. Hingga di sini, Kami adalah sama. Adapun Aku, sungguh Aku telah diberi beberapa sifat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelumku. Aku mengetahui angan-angan, bencana-bencana, nasab-nasab, fashlul khithab. Tidaklah luput sesuatu yang telah mendahuluiku, dan tidaklah pergi sesuatu yang telah berlalu dariku.” [Ushûl Al-Kâfy, kitab Al-Hujjah 1/196-197]

Nash di atas bukanlah hal aneh dalam buku-buku kaum Syi’ah, bahkan buku-buku mereka berisi pengutamaan Ahlul Bait terhadap para nabi dan para malaikat.

Mereka juga menyebutkan riwayat tentang peremehan terhadap putra Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim. Simpulannya adalah bahwa Jibril mendatangi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menimang-nimang anaknya, Ibrahim, dan cucunya, Al-Husain. Jibril pun berkata, “Allah telah mengutusku dan memberi salam kepadamu dan berfirman bahwa dua anak ini tidak berkumpul dalam satu waktu maka pilihlah salah satu di antara keduanya dan korbankanlah yang lainnya.” Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memandangi Ibrahim dan menangis, lalu beliau melihat kepada penghulu para syahid (Al-Husain) dan menangis. Beliau pun berkata, “Sesungguhnya Ibrahim, ibunya hanyalah seorang budak. Kalau dia meninggal, tak seorang pun yang bersedih terhadapnya, kecuali Aku. Adapun Al-Husain, ibunya adalah Fathimah dan ayahnya adalah Ali, sedang (Ali) adalah anak pamanku dan seperti kedudukan ruhku, serta dia adalah darah dan dagingku. Kalau (Al-Husain) meninggal, (Ali) akan bersedih dan Fathimah akan bersedih.” Kemudian beliau berbicara kepada Jibril, “Wahai Jibril, Aku mengorbankan Ibrahim untuk Al-Husain, dan Aku meridhai kematiannya agar Al-Husain dan Yahya tetap hidup.” [Hayâh Al-Qulûb 1/593 karya Al-Majlisy]

Bahkan, terhadap Ali bin Abi Thalib sendiri, mereka menyebutkan kelemahan, ketakutan, dan kehinaan Ali saat Abu Bakr diangkat menjadi khalifah [kitab Salîm bin Qais hal 84, 89]. Ketika kaum Syi’ah menyikapi putri Ali, Ummu Kultsum, yang dinikahi oleh Umar, mereka menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Itu adalah kemaluan yang telah Kami rampok.” [Furû’ Al-Kâfy 2/141 karya Al-Kulîny]. Dalam riwayat lain disebutkan, “Ali tidak ingin menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar, tetapi (Ali) takut terhadap (Umar) sehingga (Ali) mewakilkan kepada pamannya, ‘Abbâs, untuk menikahkan (Umar).” [Hadîqah Asy-Syî’ah hal. 277 karya Muqaddas Al-Ardabîly]

Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr juga menyebutkan penghinaan kaum Syi’ah terhadap Fatimah, Al-Hasan, Al-Husain, dan keturunannya hingga imam kesepuluh mereka. Makalah ini tidak cukup memuat seluruh hal tersebut.

Sikap Ahlul Bait terhadap Kaum Syi’ah[2]

Dalam buku-buku kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû berkata, “Andaikata aku membedakan Syi’ahku, tidaklah Aku akan mendapati mereka, kecuali sifat yang jelas. Andaikata menguji mereka, tidaklah Aku mendapati mereka, kecuali bahwa mereka telah murtad. Andaikata menyaring mereka di antara seribu orang, tidak akan ada seorang pun yang selamat.” [Raudhah Al-Kâfy 8/338]

Mereka juga menyebutkan ucapan Ali bin Abi Thalib terhadap kaum Syi’ah tatkala mereka berkhianat terhadap beliau. Ali radhiyallâhu‘anhû berkata kepada kaum Syi’ah, “Wahai orang-orang yang mirip lelaki, tetapi bukan lelaki, orang-orang yang berakal anak-anak kecil, dan akal-akal para perempuan bergelang kaki, Aku sangatlah berharap agar tidak melihat kalian dan tidak mengenal kalian dengan pengenalan bergetir penyesalan, demi Allah, dan bertabrak celaan. Semoga Allah memerangi kalian. Sungguh kalian telah memenuhi hatiku dengan nanah, mengumpat dadaku dengan kemarahan, menegukkan tegukan kebusukan yang menyesakkan nafas-nafas kami, dan kalian telah merusak ideku dengan penentangan dan penggembosan sehingga orang-orang Quraisy berkata, ‘Sesungguhnya Ibnu Abi Thalib adalah seorang pemberani, tetapi tidak berilmu tentang peperangan dan tidak memiliki pendapat terhadap orang yang tidak ditaati.’.” [Nahj Al-Balâghah 70-71]

Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ juga mendoakan kejelekan terhadap kaum Syi’ah sebagaimana yang mereka sebutkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, kalau Engkau memberi mereka tenggat waktu, cerai-beraikanlah mereka berkelompok-kelompok, jadikanlah mereka bergolongan-golongan yang beraneka ragam, dan janganlah Engkau menjadikan para pemerintah meridhai mereka selama-lamanya. Sesungguhnya mereka telah memanggil kami untuk menolong kami, tetapi mereka melampaui batas lalu memerangi kami.” [Al-Irsyâd hal. 241 karya Al-Mufîd]

Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ berkata sebagaimana dalam riwayat mereka, “Demi Allah, aku melihat Mu’âwiyah lebih baik bagiku daripada mereka. Mereka menyangka bahwa mereka adalah Syi’ahku, (tetapi) mereka ingin membunuhku dan mengambil hartaku. Demi Allah, andaikata dari Mu’âwiyah aku mengambil sesuatu yang menjaga darahku dan aku melindungi keluargaku, hal itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluargaku akan terlantar. Demi Allah, andaikata aku memerangi Mu’âwiyah, pastilah mereka mengambil leherku hingga mereka menyerahkanku kepada (Mu’âwiyah) dengan selamat. Demi Allah, andaikata aku berdamai dengan (Mu’awiyah) dan berada dalam keadaan mulia, hal itu lebih baik daripada dia membunuhku sebagai tawanan.” [Al-Ihtijâj 2/10]

Ali bin Al-Husain Zainul Abidin berkata, “Bukankah kalian mengetahui bahwa kalian menulis kepada ayahku, tetapi kalian memperdaya beliau serta memberi janji dan persetujuan dari diri-diri kalian, kemudian kalian memerangi dan menelantarkan beliau. Dengan mata apa kalian memandang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi ketika beliau berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan melanggar kehormatanku. Kalian bukanlah bagian dari umatku.” [Al-Ihtijâj 2/32]

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya mereka menangisi kami, tetapi siapa yang membunuh kami kalau bukan mereka?” [Al-Ihtijâj 2/29]

Muhammad bin Ali Al-Bâqir berkata, “Andaikata seluruh manusia adalah Syi’ah kami, pastilah tiga perempatnya adalah orang yang ragu terhadap kami, sedang seperempatnya adalah orang dungu.” [Rijâl Al-Kisysyi hal. 79]

Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq berkata, “Demi Allah, ketahuila. Andaikata aku menemukan tiga orang mukmin di antara kalian yang (mampu) menyembunyikan pembicaraanku, tentu aku tidaklah halal menyembunyikan pembicaraan terhadap mereka.” [Ushûlul Kâfy 1/496]

Banyak lagi riwayat dari Ahlul Bait yang mengandung celaan dan penjelasan mereka tentang kaum Syi’ah yang mengaku mencintai Ahlul Bait.

Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait tentang Sikap kepada Para Shahabat
Dalam Irsyâd Al-Ghâby Ilâ Madzhab Ahlil Bait Fî Shahbin Naby, Imam Asy-Syaukany menyebutkan dua belas jalur kesepakatan para Imam Ahlul Bait dari berbagai masa tentang sikap mereka yang sesungguhnya terhadap para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Dalam riwayat-riwayat mereka sendiri, terdapat penyebutan ucapan-ucapan Ahlul Bait yang memuji dan memiliki hubungan baik dengan seluruh para shahabat, termasuk Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya.

Nash-nash dalam buku-buku Syi’ah tentang hal tersebut disebutkan dalam kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.

Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû sendiri memuji para shahabat dalam ucapan beliau, “Sungguh aku telah melihat para shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Aku tidak melihat seorang pun di antara kalian yang menyerupai mereka! Sungguh pada waktu pagi mereka kusut lagi berdebut, pada waktu malam mereka bersujud dan melakukan qiyâm. Mereka beristirahat antara dahi-dahi dan pipi-pipi mereka, dan berhenti seperti bara-bara api ketika mengingat hari kebangkitan, seakan-akan antara mata-mata mereka seperti bekasan kambing karena sujud mereka yang panjang. Apabila Allah disebut, berlinanglah mata-mata mereka sehingga membasahi dada-dada mereka, bergoyang seperti pepohonan bergoyang pada hari saat angin kencang, karena takut terhadap siksaan dan harapan akan pahala.” [Nahj Al-Balâghah hal. 143]

Selain itu, telah berlalu penyebutan beberapa anak dari Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum yang bernama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Hal ini menunjukkan kedekatan antara Ahlul Bait dan Khulafa` Ar-Rasyidin, yang berbeda dengan Syi’ah yang mengafirkan para shahabat, khususnya tiga Khulafa` Ar-Rasyidin.

Pembunuhan Al-Husain[3]

Di antara kamus pengkhianatan kaum Syi’ah adalah pembunuhan mereka terhadap Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhumâ. Berikut kisah tersebut secara ringkas.

Pada tahun 60 H, Yazîd bin Mu’âwiyah dibaiat sebagai khalifah, padahal umur beliau masih 34 tahun. Al-Husain dan Abdullah bin Az-Zubair tidak berbaiat kepada Yazîd bin Mu’âwiyah, padahal beliau berdua berada di Madinah. Kemudian keduanya keluar dari Madinah menuju Makkah tanpa berbaiat. Kejadian tersebut terdengar oleh penduduk Kufah yang notabene merupakan orang-orang yang mengaku loyal kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya. Mereka pun mengirim berbagai surat kepada Al-Husain yang menyatakan, “Kami telah membaiatmu, kami tidak menginginkan, kecuali engkau. Di leher kami tiada baiat untuk Yazîd, tetapi baiat hanya untukmu.” Semakin banyak surat yang sampai kepada Al-Husain hingga lebih dari lima ratus surat. Semua surat itu berasal dari penduduk Kûfah.

Menanggapi hal tersebut, Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ mengirim anak pamannya, Muslim bin ‘Aqîl bin Abi Thalib, untuk mengetahui hakikat perkara. Begitu tiba di Kûfah, Muslim pun segera bertanya-tanya ke sana-sini sehingga Muslim mengetahui bahwa manusia tidak menginginkan Yazîd, tetapi menginginkan Al-Husain. Ketika Muslim berlabuh di rumah Hâni` bin ‘Urwah, manusia pun berbondong-bondong mendatangi rumah Hâni` dan membaiat Muslim di atas baiat kepada Al-Husain. Kemudian Muslim mengirim pesan kepada Al-Husain agar Al-Husain segera datang ke Kûfah.

Hal tersebut terdengar oleh Yazid, yang kemudian mengutus ‘Ubaidullah bin Ziyâd sebagai gubernur Kufah untuk menanggapi kejadian tersebut. Setelah memastikan dan menyelidiki kepastian berita, segeralah Ubaidullah menahan Hâni` bin ‘Urwah. Mendengar Hâni` bin ‘Urwah tertahan, Muslim keluar dengan membawa empat ribu orang penduduk Kûfah yang telah membaiat Al-Husain.

Hanya dalam hitungan beberapa saat, tidaklah tersisa di antara empat ribu, kecuali tiga puluh orang, setelah ‘Ubaidullah memberi janji-janji pemberian untuk sebagian orang terpandang agar membuat penduduk Kûfah takut terhadap tentara Syam, yang berada pada pihak Yazîd bin Mu’âwiyah. Setelah matahari terbenam, tidak tersisa seorang pun, kecuali Muslim bin ‘Aqîl seorang diri.

‘Ubaidullah bin Ziyâd kemudian menawan dan membunuh Muslim pada hari ‘Arafah. Namun, sebelumnya, Muslim telah mengirim wasiat kepada Al-Husain, menceritakan peristiwa tersebut agar Al-Husain kembali dan tidak tertipu oleh penduduk Kûfah.

Al-Husain, yang telah berangkat ke Kûfah semenjak hari Tarwiyah, menerima pesan dari Muslim bin Aqîl dan telah berniat kembali ke Makkah. Namun, sebagian anak Muslim yang ikut bersama rombongan memberi saran agar rombongan tetap berangkat supaya dia bisa menuntut darah ayahnya.

Akhirnya, Al-Husain tetap berangkat menuju Iraq hingga tiba di Karbalâ`, dan beliau terbunuh sebagai syahid di tempat tersebut berserta tujuh belas orang Ahlul Bait dari anak-anak Al-Husain, Al-Hasan, ‘Aqil, dan Abdullah bin Ja’far pada 10 Muharram 61 H.

Kaum Syi’ah bercerita, “Dua puluh ribu orang penduduk Iraq membaiat Al-Husain, tetapi kemudian berkhianat terhadap beliau dan keluar memerangi mereka, padahal baiat berada di leher-leher mereka, kemudian mereka membunuh (Al-Husain).” [Muhsin Al-Amin dalam bukunya, A’yân Asy-Syî’ah, bagian pertama hal. 34]

Al-Mas’ûdy berkata, “Seluruh tentara, yang menghadiri pembunuhan Al-Husain serta memerangi dan membunuh beliau, hanyalah penduduk Kufah. Tidak ada seorang penduduk Syam pun yang hadir.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/76]

Al-Mas’ûdy juga berkata, “Begitu bala tentara semakin banyak (mengepung) Al-Husain, dan beliau menyangka tidak akan selamat lagi, beliau berdoa, ‘Ya Allah, tetapkanlah hukum antara kami dan kaum yang memanggil kami, tetapi kemudian mereka sendiri yang membunuh kami.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/75]

Setelah kita mengetahui siapa sebenarnya pembunuh Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ, ternyata kaum Syi’ah tidak mencukupkan diri dengan pengkhianatan mereka. Bahkan, mereka membuat kedustaan-kedustaan terhadap Ahlul Bait akan anjuran untuk merayakan dan memperingati hari Karbalâ`(hari Âsyûrâ`, 10 Muharram).

Rujukan kaum Syi’ah, Ath-Thûsy, meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Musa Ar-Ridha bahwa Ali bin Musa berkata, “Siapa saja yang meninggalkan upaya menunaikan hajatnya pada hari Âsyûrâ`, Allah akan menunaikan hajatnya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menjadikan hari Âsyûrâ` sebagai hari musibah, bersedih, dan menangisnya, Allah ‘Azza Wa Jalla akan menjadikannya pada hari kiamat sebagai hari kegembiraan dan kesenangan, serta menyejukkan mata kami di surga ….” [Amâlî Ath-Thûsy hal. 194, Bihâr Al-Anwâr 44/284]

Al-Barqy meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ja’far Ash-Shâdiq, bahwa Ja’far berkata, “Siapa saja yang Al-Husain disebut di sisinya, kemudian meneteskan air mata, walaupun seperti sayap nyamuk, dosanya akan diampuni, meskipun seperti buih di lautan.” [Al-Mahâsin hal. 36, Bihâr Al-Anwâr 44/289]

Bahkan, Al-Mufid meriwayatkan dengan sanadnya hingga Al-Husain bin Ali sendiri, bahwa Al-Husain berkata, “Tidak ada seorang hamba pun yang berlinang air mata untuk kami atau meneteskan satu tetes air mata untuk kami, kecuali bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam Surga dalam kurun waktu yang panjang.” [Amâlî Al-Mufîd hal. 209, Bihâr Al-Anwâr 44/279]

Demikianlah segelintir kedustaan kaum Syi’ah dalam pembunuhan terhadap Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ.

Kami Perlu mengingatkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah dari kami, orang yang memukul pipinya, menyobek kantong bajunya, serta menyeru dengan seruan jahiliyah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu‘anhû]

------------------------------------------------------------------------------------
[1] Disadur dari kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.
[2] Disadur dari Kasyf Al-Asrâr Wa Tabriah Al-A`immah Al-Athhâr hal. 14-18 karya Sayyid Husain Al-Musawy, seorang ulama Najaf.
[3] Diringkas dari Huqbah Min At-Târikh karya ‘Utsmân Al-Khumayyis hal. 229-259, Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 490-504, dan Man Qatala Al-Husain karya Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz.

Sumber: Ust. Dzulqarnain
Read More...

Peringatan Pengurus Besar Nahdlatul-Ulama (NU) akan Bahaya Syi'ah

Jangan terkecoh oleh manuver-manuver pribadi Sa'id Agil Siradj yang mengatasnamakan NU dalam memuji dan merekomendasikan agama Syi'ah. Pendirian NU masih tetap dengan menganggap Syi'ah adalah agama/pemahaman SESAT.

pandangan NU terhadap syiah

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...

Para Shahabat Nabi di Mata Ahlul Bait

ahlul bait
Ahlul-Bait mencintai, menghormati, dan mendoakan shahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminiin yang bersaudara. Tidak ada sama sekali permusuhan sebagaimana sebagian orang merekayasa permusuhan di antara mereka. Silakan simak riwayat berikut :

Generasi shahabat adalah generasi terbaik dalam Islam.
بأسناده عن موسى بن جعفر بن محمد ، عن آبائه عليهم السلام قال : قال رسول الله صلى الله عليه واله : القرون أربعة : أنا في أفضلها قرنا ، ثم الثاني ، ثم الثالث ، فإذا كان الرابع اتقى الرجال بالرجال ، والنساء بالنساء ، فقبض الله كتابه من صدور بني آدم ، فيبعث الله ريحا سوداء ثم لا يبقى أحد - سوى الله تعالى - إلا قبضه الله إليه

Dengan sanadnya dari Muusaa bin Ja’far, dari ayah-ayahnya ‘alaihim as-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi : “Jaman (masa) itu ada empat. Jaman yang aku ada di dalamnya adalah jaman yang paling utama, kemudian yang kedua, kemudian ketiga…..” [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy, 6/314-315].

Di sebagian riwayat, perkataan di atas dinisbatkan pada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu [lihat : Di’aaimul-Islaam, 2/455 no. 1595].

Jaman (masa) ketika beliau masih hidup adalah jaman para shahabat. Begitu pula jaman ketika beliau telah meninggal yang disebutkan sebagai jaman kedua yang paling utama, itupun masih jaman para shahabat radliyallaahu ‘anhum (dan taabi’iin).

Perkataan ini sesuai dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ada dalam referensi kaum muslimin :
عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “"Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].

Para shahabat adalah mukmin sejati
حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال: حدثنا علي ابن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن محمد بن أبي عمير، عن هشام بن سالم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله اثني عشر ألفا ثمانية آلاف من المدينة، و ألفان من مكة، وألفان من الطلقاء، ولم ير فيهم قدري ولا مرجي ولا حروري ولا معتزلي، ولا صحاب رأي، كانوا يبكون الليل والنهار ويقولون: اقبض أرواحنا من قبل أن نأكل خبز الخمير
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al-Hamdaaniy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibraahiim bin Haasyim, dari ayahnya, dari Muhammad bin Abi ‘Umair, dari Hisyaam bin Saalim, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam : “Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalih berjumlah 12.000 orang, dimana 8.000 orang diantaranya berasal dari Madiinah, 2.000 orang dari Makkah, dan 2.000 orang dari kalangan thulaqaa’ (yang masuk Islam pasca Fathu Makkah). Tidak ada di kalangan mereka yang mempunyai pemikiran Qadariy, Murji’, Haruriy, Mu’taziliy, maupun rasionalis. Mereka senantiasa menangis pada malam dan siang hari, seraya berdoa : ‘Cabutlah nyawa kami sebelum kami sempat makan roti adonan” [Al-Khishaal oleh Ash-Shaduuq, hal. 639-640].

Katanya, riwayat ini shahih [lihat : sini].

Menurut Abu ‘Abdillah – imam Syi’ah –, keimanan para shahabat yang berjumlah 12.000 orang tidak tercemari ‘aqidah yang menyimpang.

Para shahabat adalah orang yang keimanannya kuat dan rajin beribadah
Para shahabat yang berjumlah 12.000 orang tersebut di atas, mereka disifati oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sebagai berikut :
لقد رأيت أصحاب محمّد صلّى اللّه عليه و آله ، فما أرى أحدا منكم يشبههم لقد كانوا يصبحون شعثا غبرا ، و قد باتوا سجّدا و قياما ، يراوحون بين جباههم و خدودهم ، و يقفون على مثل الجمر من ذكر معادهم كأنّ بين أعينهم ركب المعزى ، من طول سجودهم إذا ذكر اللّه هملت أعينهم حتّى تبلّ جيوبهم ، و مادوا كما يميد الشّجر يوم الرّيح العاصف ، خوفا من العقاب ، و رجاء للثّواب
“Sungguh aku telah melihat shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ’alaihi wa aalihi. Maka, tidaklah aku melihat seorangpun yang menyerupai mereka (dalam hal ketaatan dan keimanan). Di waktu pagi hari mereka kusut berdebu (karena bekerja keras), dan di malam hari mereka sujud dan berdiri (menghadap Allah), dengan bergantian antara dahi dan pipi mereka. Mereka berdiri seakan-akan di atas bara api karena ingat tempat kembali mereka (yaitu kampung akhirat). Antara dua mata mereka (ada bekas) seperti lutut kambing karena lamanya sujud mereka. Apabila disebut nama Allah, meneteslah air mata mereka sehingga membasahi dada mereka. Hati mereka goncang seperti goncangnya pohon yang diterpa angin keras karena takut akan siksaan Allah dan mengharap pahala-Nya” [Nahjul-Balaaghah, hal. 238-239].

Para shahabat adalah orang-orang terpercaya membawakan riwayat
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَا بَالِي أَسْأَلُكَ عَنِ الْمَسْأَلَةِ فَتُجِيبُنِي فِيهَا بِالْجَوَابِ ثُمَّ يَجِيئُكَ غَيْرِي فَتُجِيبُهُ فِيهَا بِجَوَابٍ آخَرَ فَقَالَ إِنَّا نُجِيبُ النَّاسَ عَلَى الزِّيَادَةِ وَ النُّقْصَانِ قَالَ قُلْتُ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) صَدَقُوا عَلَى مُحَمَّدٍ ( صلى الله عليه وآله ) أَمْ كَذَبُوا قَالَ بَلْ صَدَقُوا .......
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi Nahraan, dari ‘Aashim bin Humaid, dari Manshuur bin Haazim, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam : “Bagaimana bisa ketika aku bertanya kepada satu permasalahan, engkau menjawabnya dengan satu jawaban, kemudian datang orang lain kepadamu lalu engkau menjawabnya dengan jawaban lain ?”. Ia menjawab : “Sesungguhnya kami menjawab pertanyaan (manusia) dengan kalimat lebih dan kurang”. Lalu aku berkata : “Khabarkanlah kepadaku tentang shahabat-shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi, apakah mereka benar/jujur dalam perkataannya tentang Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihi, ataukah mereka telah berdusta ?”. Ia menjawab : “Bahkan mereka benar/jujur……” [Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 1/65 no. 3].

Kata Al-Majlisiy, riwayat di atas derajatnya hasan [Mir’atul-‘Uquul, 1/216].

Tidak boleh membenci dan mencela para shahabat
Hasan Al-‘Askariy rahimahullah –salah seorang imam Syi’ah – berkata :
وإن رجلا ممن يبغض [آل] محمد وأصحابه الخيرين أو واحدا منهم لعذبه الله عذابا لو قسم على مثل عدد ما خلق الله تعالى لأهلكهم أجمعين.
“Dan sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad dan shahabat-shahabatnya yang baik, atau hanya seorang saja dari kalangan mereka, niscaya Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang seandainya dibagi kepada seluruh ciptaan Allah, maka akan binasa semua” [Tafsiir Al-Imaam Al-‘Askariy, hal. 392].

عن الصادق، عن آبائه، عن علي صلوات الله عليهم قال: أوصيكم بأصحاب نبيكم، لا تسبوهم، الذين لم يحدثوا بعده حدثا، ولم يؤوا محدثا، فإن رسول الله أوصى بهم
Dari Ash-Shaadiq, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy shalawaatullahi ‘alaihim, ia berkata : “Aku wasiakan kepada kalian shahabat-shahabat Nabi kalian. Janganlah kalian mencela mereka, yang mereka itu tidak pernah mengada-adakan sesuatu yang baru sepeninggal beliau. Tidak pula mereka memuliakan orang yang berbuat bid’ah. Sesungguhnya Rasulullah telah berwasiat kepadaku tentang mereka” [Mustadrak Safiinatil-Bihaar oleh Asy-Syahruudiy, 6/173].

Ini sesuai dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ada dalam referensi kaum muslimin :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar bukit Uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3673, Muslim no. 2541, Ahmad 3/11, Abu Dawud no. 4658, At-Tirmidziy no. 3860, dan Abu Ya’laa no. 1171 & 1198].

Dianjurkan mendoakan kebaikan bagi shahabat
 ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata :
وفي المهاجرين خير كثير تعرفه جزاهم الله خيرا بأحسن أعمالهم
“Dan bagi kaum Muhaajiriin terdapat banyak kebaikan yang dapat kalian ketahui. Semoga Allah membalas mereka kebaikan, atas amal-amal kebaikan mereka tersebut” [Bihaarul-Anwaar, 33/112].

Ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshaar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al-Hasyr : 10].

******

Berdasarkan riwayat-riwayat yang disebutkan di atas Pembaca dapat mengetahui bahwa kita (Ahlus-Sunnah) adalah Syi’ah (pembela) ‘Aliy dan Ahlul-Bait yang sejati, karena kita membela dan mengikuti ajaran mereka. Sedangkan mereka (Syi’ah Raafidlah) adalah Naashibiy (pembenci Ahlul-Bait) sejati karena membenci dan memusuhi ajaran mereka, khususnya dalam hal mencintai dan menghormati para shahabat Nabi.

Wallaahul-musta’aan.

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...

Menghalalkan Segala Cara untuk Menjatuhkan Lawan, Meskipun dengan Dusta

syiah tukang dusta, syiah tukang bohong
Al-Kulainiy bilang :
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ سِرْحَانَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) إِذَا رَأَيْتُمْ أَهْلَ الرَّيْبِ وَ الْبِدَعِ مِنْ بَعْدِي فَأَظْهِرُوا الْبَرَاءَةَ مِنْهُمْ وَ أَكْثِرُوا مِنْ سَبِّهِمْ وَ الْقَوْلَ فِيهِمْ وَ الْوَقِيعَةَ وَ بَاهِتُوهُمْ كَيْلَا يَطْمَعُوا فِي الْفَسَادِ فِي الْإِسْلَامِ وَ يَحْذَرَهُمُ النَّاسُ وَ لَا يَتَعَلَّمُوا مِنْ بِدَعِهِمْ يَكْتُبِ اللَّهُ لَكُمْ بِذَلِكَ الْحَسَنَاتِ وَ يَرْفَعْ لَكُمْ بِهِ الدَّرَجَاتِ فِي الْآخِرَةِ .
Muhammad bin Yahyaa, dari Muhammad bin Al-Husain, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Bashr, dari Daawud bin Sirhaan, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi : “Apabila engkau melihat orang yang menyimpang (penimbul keraguan) dan ahlul-bida’ setelahku, maka nampakkanlah sikap bara’ah (berlepas diri) dari mereka; dan perbanyaklah cacian, perkataan jelek, dan celaan terhadap mereka. Tuduhlah mereka dengan kebohongan agar mereka tidak lagi tamak dalam menimbulkan kerusakan pada Islam. Peringatkanlah manusia tentangnya, dan jangan pelajari kebid’ahan mereka. Niscaya Allah akan menuliskan bagi kalian atas hal tersebut kebaikan-kebaikan, dan akan Allah angkat kalian dengannya beberapa derajat di akhirat” [Al-Kaafiy, 2/375]. Kata Al-Majlisiy, riwayat itu shahih [Mir’atul-‘Uquul, 11/77].[1]

Riwayat di atas mengandung pengertian bahwa jika ada seseorang yang dianggap menyimpang dari agama (Syi’ah), disukai untuk memperbanyak celaan, makian, dan tuduhan – meski bohong – demi kemaslahatan agama (Syi’ah).

Dalam tataran praktek, amalan ini ditegaskan dan dianjurkan oleh para pembesar Syi’ah.
Al-Khuu’iy – ulama besar Syi’ah – pernah ditanya :
هل يجوز الكذب على المبدع أو مروج الضلال في مقام الاحتجاج عليه إذا كان الكذب يدحض حجته ويبطل دعاويه الباطلة؟
“Apakah diperbolehkan berdusta atas Ahlul-Bid’ah dan penganjur kesesatan saat berhujjah/berdebat dengan mereka, apabila kedustaan itu dapat membantah hujah mereka dan membatalkan dakwah mereka yang baathil ?”.

Al-Khuu’iy menjawab :
إذا توقف رد باطله عليه جاز
“Apabila hal itu dapat menghentikan dan membantah kebathilan mereka, maka diperbolehkan” [Shiraathun-Najaah, 1/447 – sumber : sini].

Bagi Syi’ah, orang yang dianggap paling menyimpang dan sekaligus musuh bagi agama mereka adalah Ahlus-Sunnah. Khususnya lagi, Wahabiy.

Setelah merenung, saya pun menjadi paham kenapa orang Syi’ah selama ini sangat murah mengumbar dusta terhadap Ahlus-Sunnah. Menuduh antek Amerika lah, antek Zionis lah, dan yang semisalnya.[2] Menjadi paham pula kenapa mereka berani merekayasa sandiwara meninggalnya Al-Buuthiy, merekayasa fatwa MUI, berani berdusta saat KTT Non-Blok, dan berdusta terhadap Asy-Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’uur [baca : sini].

Benar, orang Ahlus-Sunnah memang ada yang berdusta, bahkan banyak. Hanya saja bedanya, Ahlus-Sunnah berkeyakinan dusta mereka diancam nereka, sedangkan dusta mereka (Syi’ah) akan meninggikan derajat mereka dan berpahala.

Susah diharapkan.......

Wallaahul-musta’aan.

NB : Saya pribadi yakin seyakin-yakinnya bahwa perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu ‘Abdillah rahimahullah dalam riwayat Syi’ah di atas adalah dusta.

-----------------------------------------------------------------------------------------
[1]      Para peneliti Syi’ah menshahihkan hadits ini dan berhujjah dengannya saat menjawab pertanyaan, seperti misal di : http://www.aqaed.com/faq/1857/.
[2]      Padahal, sejarah sendiri belum pernah mencatat orang Syi’ah berkonfrontasi secara nyata dan terbuka dengan Amerika dan Israel/Yahudi. Saat orang-orang Yahudi menginvasi bumi Syaam/Al-Quds, siapakah yang aktif melawan mereka ?. Jawab : Ahlus-Sunnah. Dimanakah orang-orang Syi’ah kala itu ?. Entahlah. Saat Israel menyerang Libanon karena ulah Hizbullah pimpinan Hasan Nashrullah, dimanakah mereka saat itu ?. bersembunyi di dalam bunker, dan membiarkan penduduk (yang mayoritas Ahlus-Sunnah) dibombardir.
‘Iraan nyata-nyata mempunyai fasilitas nuklir yang ditengarai membahayakan stabilitas Timur Tengah. Kenapa Amerika tidak menyerang mereka, sementara Amerika sangat cekatan menyerang ‘Iraaq (salah satunya) dengan tuduhan sama padahal tak pernah terbukti ?.

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...

KAUM SYIAH, GOLONGAN PEMALSU HADITS TERDEPAN

Kemunculan orang-orang yang berkepentingan duniawi dan dengki terhadap Islam, dan manusia-manusia yang masuk Islam dengan membawa kepentingan untuk merusaknya dari dalam menjadi penyebab tersulutnya fitnah besar di tengah umat Islam yang berujung pada terbunuhnya Khalifah ‘Utsmân Radhiyallahu anhu dan berkobarnya peperangan-peperangan yang memecah kesatuan umat. Selanjutnya, timbullah golongan-golongan (sesat) dalam Islam. Masing-masing golongan berupaya membenarkan pendapat (ideologi)nya dengan memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dari situlah, hadits-hadits palsu berkembang. Tema-temanya pun beragam, di antaranya berisi keutamaan seseorang, madzhab, wilayah tertentu atau sebaliknya menyerang orang-orang maupun kelompok tertentu.

SEBAB PEMALSUAN HADITS
Usaha-usaha pemalsuan hadits atas nama Rasûlullâh n didorong oleh berbagai motivasi dan kepentingan. Di antaranya, bertujuan merusak aqidah Islam, mencari popularitas, fanatisme madzhab, mengais penghidupan seperti yang dilakukan oleh qushshâsh (para tukang cerita).

“Pemalsuan hadits yang terjadi, bukanlah fenomena kebetulan yang muncul tanpa direncanakan. Akan tetapi, merupakan gerakan dengan orientasi tertentu dan perencanaan yang komprehensif. Gerakan ini memiliki bahaya dan dampak buruk besar. Di antara dampak buruknya yang langsung mengenai sekian banyak generasi Islam di banyak negeri, tersebarnya pendapat-pendapat yang aneh, kaedah-kaedah fiqih yang syadz, dan keyakinan menyimpang serta pandangan-pandangan yang lucu. Hal-hal yang menyimpang ini didukung dan dipropagandakan oleh golongan-golongan sesat dan kelompok-kelompok tertentu…Sering kali hadits-hadits palsu ini bertentangan dengan akhlak dan akal yang lurus, dan apalagi dengan Kitabullâh dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[1]

KAUM SYIAH, GOLONGAN TERDEPAN YANG MEMALSUKAN HADITS
Salah satu langkah yang ditempuh golongan batil untuk mencari pengikut, yaitu melalui pengadaan hadits-hadits palsu dan menyebarluaskannya di tengah manusia. Pasalnya, mereka tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat mencintai sunnah (hadits-hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin mengetahui lebih mendalam. Selanjutnya, mereka ini (golongan batil) mereka-reka hadits-hadits (palsu) dan menisbatkannya kepada Rasûlullâh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika kaum Muslimin mendengarkannya, umat akan memahami itu merupakan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menganggapnya sebagai kebenaran. Padahal sejatinya itu adalah hadits palsu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan atau melakukannya sama sekali. !

Golongan batil ini tidak hanya berdusta atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi juga memalsukan riwayat-riwayat dengan mencatut nama-nama Ulama Islam yang menjadi teladan bagi umat agar kebatilan mereka lebih dikenal khalayak.

Kaum Syiah, inilah golongan terdepan yang memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang paling nekat dalam usaha ini. Mereka sudah terbiasa berdusta dan berbohong. Orang yang sudah terbiasa berdusta, tidak akan berpikir panjang saat akan berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi atas nama manusia biasa. Kedustaan-kedustaan itu sama saja dalam pandangan mereka. Terutama bila tujuan mereka ialah untuk menyesatkan dan mendangkalkan keyakinan orang di luar kaum Syiah. Apapun dipandang boleh, demi mencapai tujuan yang diinginkan. Persoalan moral tidak diperhatikan selama bertujuan mewujudkan langkah yang telah direncanakan. !!? Kaidah yang mereka tempuh ialah ‘tujuan menghalalkan segala cara’. Setiap cara apapun –paling buruk sekalipun- akan dipandang boleh jika merealisasikan tujuan dan mengantarkan mereka menuju target yang diinginkan.

USHUL KAFI, KITAB RUJUKAN TERPENTING KAUM SYIAH, BERISI RIBUAN HADITS PALSU
Cukuplah Anda tahu bahwa kitab terpenting kaum Syiah, yaitu Ushûl Kâfi sebagai bukti kedustaan kaum Syiah. Mereka katakan sendiri bahwa kitab ini memuat ribuan hadits palsu. Seorang Ulama kontemporer kaum Syiah, at-Tijâni ,mengakuinya sendiri dalam buku yang ia tulis dengan judul Fas alû Ahladz Dzkir.[2]

Bila sedemikian banyak hadits palsu dalam satu kitab saja, berapa banyak lagi hadits-hadits yang mereka palsukan di dalam kitab-kitab mereka yang lain? Bagaimana mungkin buku-buku yang berisi kedustaan seperti ini dipercaya?

KEUTAMAAN HADITS ZIARAH KUBUR WALI, BUATAN KAUM SYIAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan bahwa orang terdepan yang memalsukan hadits tentang disyariatkannya safar (bepergian jauh) untuk mengunjungi kubur-kubur wali adalah kaum Syiah. Mereka telah menyebabkan masjid-masjid kosong, dan sebaliknya meramaikan kompleks makam. Mereka tinggalkan rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla (masjid-masjid) yang menjadi tempat dzikrullâh, sementara makam-makam wali yang sering kali menjadi tempat praktek perbuatan syirik mereka agung-agungkan. Padahal al-Qur`an dan Hadits memerintahkan untuk mengagungkan masjid-masjid, bukan kuburan[3]

ANDIL KAUM SYIAH DALAM MENCORENG SEJARAH ISLAM
Kaum Syiah berkepentingan untuk menyuguhkan sejarah Islam yang buruk di mata umatnya dan memalsukan hadits. Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkemuka, Abu Bakar Radhyallahu anhu, ‘Umar Radhiyallahu anhu dan ‘Utsmân Radhiyallahu anhu, mereka bidik dengan berbagai cacian dan cercaan.

Apabila kita menelaah buku-buku sejarah yang berbicara tentang fitnah, ternyata riwayat-riwayat yang membekaskan keraguan-keraguan mendalam itu berpangkal dari empat orang saja: Abu Mikhnaf Lûth bin Yahya, al-Wâqidi, Muhammad bin Sâib al-Kalbi, putranya Hisyâm bin Muhammad bin Sâib al-Kalbi. Empat orang ini merupakan tokoh-tokoh yang berjasa dalam pandangan kaum Syiah. Kitab-kitab kaum Syiah sarat dengan pujian bagi mereka berempat tersebut.

Dengan ini, dapat diketahui bahwa kaum Syiah termasuk golongan paling berbahaya bagi Islam. Wallâhu a’lam

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Via: almanhaj.or.id
_______
[1]. Muqoddimah muhaqqiq kitab al-Maudhû’ât karya Ibnul Jauzi
[2]. Hlm. 34
[3]. Iqtidhâ Shirâthal Mustaqîm hlm. 391
Read More...

‘Aisyah adalah Istri Nabi shallallaahu ‘’alaihi wa sallam di Dunia dan di Akhirat

aisyah binti abu bakar, aisyah istri rasulullah
Telah berkata Al-Imaam At-Tirmidziy rahimahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ الْمَكِّيِّ عَنْ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جِبْرِيلَ جَاءَ بِصُورَتِهَا فِي خِرْقَةِ حَرِيرٍ خَضْرَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ زَوْجَتُكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaq, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah Al-Makkiy, dari Ibnu Abi Husain, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Aaisyah : “Bahwasannya Jibriil datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama gambar Aisyah dalam secarik kain sutera hijau, lalu berkata : ‘Sesungguhnya ini adalah isterimu di dunia dan akhirat’” [Jaami’ At-Tirmidziy no. 3880, At-Tirmidziy berkata : “Hadits ini hasan ghariib, kami tidak mengetahuinya selain dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Alqamah”]. Hadits ini shahih.[1] 

Ada penguat lain, yaitu :
أخبرنا بن خزيمة حدثنا سعيد بن يحيى الأموي حدثني أبي حدثني أبو العنبس سعيد بن كثير عن أبيه قال حدثنا عائشة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر فاطمة قالت فتكلمت انا فقال أما ترضين ان تكونى زوجتى في الدنيا والآخرة قلت بلى والله قال فأنت زوجتى في الدنيا والآخرة
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Khuzaimah : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa Al-Umawiy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Abul-‘Anbas Sa’iid bin Katsiir, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan Faathimah. ‘Aaisyah berkata : “Maka, akupun protes kepada beliau”. Beliau kemudian bersabda : “Apakah engkau tidak ridla menjadi istriku di dunia dan di akhirat”. Aku berkata : “Tentu, demi Allah”. Beliau bersabda : “Engkau adalah istriku di dunia dan di akhirat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 7095]. Hadits ini shahih lighairihi.[2]

‘Ammaar bin Yasiir pun mengakui bahwasannya ‘Aaisyah adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat, dan Al-Hasan bin ‘Aliy pun men-taqrir-nya radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ قَالَ لَمَّا بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارًا وَالْحَسَنَ إِلَى الْكُوفَةِ لِيَسْتَنْفِرَهُمْ خَطَبَ عَمَّارٌ فَقَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ ابْتَلَاكُمْ لِتَتَّبِعُوهُ أَوْ إِيَّاهَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami Ghundar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam : Aku mendengar Abu Waail berkata : Ketika 'Aliy mengutus 'Ammaar dan Al-Hasan ke Kuufah untuk mengerahkan mereka berjihad, 'Ammaar berkhutbah : "Sungguh aku mengetahui bahwa ia (‘Aaisyah) adalah istri beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Akan tetapi sekarang Allah menguji kalian apakah akan mentaati-Nya (yaitu tidak keluar ketaatan dari ‘Aliy dan melawannya) atau mengikutinya ('Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa dalam melawan ‘Aliy)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3772. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 7100 & 7101, Ahmad 4/265, Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 1408-1409, Al-Baihaqiy 8/174, dan yang lainnya].

Lihatlah keadilan ‘Ammaar. Ia tetap mengakui keutamaan ‘Aaisyah sebagai istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat meskipun posisinya saat itu berseberangan dengannya[3]. Ia jauh dari celaan sebagaimana celaan orang-orang Syi’ah. Begitu pula Al-Hasan bin ‘Aliy yang men-taqrir (menyetujui) apa yang dikatakan ‘Ammaar.

Mungkin orang Syi’ah akan berkelit bahwa Al-Hasan tidak ada di hadir di tempat itu dan belum tentu ia men-taqrir apa yang dikatakan ‘Ammaar. Sungguh kerdil logika mereka !. ‘Ammaar dan Al-Hasan adalah dua orang yang diutus secara khusus oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib dalam mengatasi pasukan Jamaal. 

Sesampainya di Kuufah, ‘Ammaar berkhutbah di depan khalayak. Tentu saja apa yang dikatakannya itu didengar banyak orang, baik rombongannya maupun orang-orang Kuufah. Tidak terkecuali Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Riwayat berikut adalah pemutusnya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ حَدَّثَنَا أَبُو مَرْيَمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ الْأَسَدِيُّ قَالَ لَمَّا سَارَ طَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَائِشَةُ إِلَى الْبَصْرَةِ بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ وَحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَقَدِمَا عَلَيْنَا الْكُوفَةَ فَصَعِدَا الْمِنْبَرَ فَكَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فَوْقَ الْمِنْبَرِ فِي أَعْلَاهُ وَقَامَ عَمَّارٌ أَسْفَلَ مِنْ الْحَسَنِ فَاجْتَمَعْنَا إِلَيْهِ فَسَمِعْتُ عَمَّارًا يَقُولُ إِنَّ عَائِشَةَ قَدْ سَارَتْ إِلَى الْبَصْرَةِ وَ وَاللَّهِ إِنَّهَا لَزَوْجَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ابْتَلَاكُمْ لِيَعْلَمَ إِيَّاهُ تُطِيعُونَ أَمْ هِيَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceriakan kepada kami Yahyaa bin Aadam : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy : Telah menceritakan kepada kami Abu Hushain : Telah menceritakan kepada kami Abu Maryam ‘Abdullah bin Ziyaad Al-Asadiy, ia berkata : Tatkala Thalhah, Az-Zubair, dan 'Aaisyah berangkat ke Bashrah, Aliy mengutus 'Ammaar bin Yaasir dan Hasan bin Aliy mendatangi kami di Kuufah. Lalu keduanya naik minbar. 

Ketika itu Al-Hasan bin ‘Aliy di atas mimbar di tangga paling atas, sedangkan ‘Ammaar berdiri di bawah Al-Hasan. Kami berkumpul di sekelilingnya, dan aku mendengar 'Ammaar berkata : 'Aaisyah sedang berangkat ke Bashrah. Demi Allah, ia adalah isteri Nabi kalian shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akherat. Namun Allah tabaaraka wa ta’ala menguji kalian agar Dia mengetahui, apakah kalian taat kepada-Nya atau kepada Aisyah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7100].

Seandainya Al-Hasan tidak sependapat yang dikatakan ‘Ammaar, tentu ia akan segera menyanggah. Kedudukannya tidaklah lebih rendah daripada ‘Ammaar. Ia putra seorang khalifah. Apalagi situasi saat itu sangat mendukung, dimana ‘Aaisyah merupakan pihak kontra yang hendak dilawan. Seruan mereka berdua (‘Ammaar dan Al-Hasan) adalah seruan untuk membela ‘Aliy bin Abi Thaalib melawan pasukan Jamal (yang padanya terdapat Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa). Dalam kaedah pun dikatakan : ta’khiirul-bayaan fil-waqtil-haajah, la yajuuz (mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan adalah tidak diperbolehkan). Apa yang menghalangi Al-Hasan bin ‘Aliy tidak mengingkari perkataan ‘Ammaar bin Yaasir seandainya perkataannya itu salah ? Memuji orang yang telah jelas kefasikannya atau tidak mengkafirkan orang yang sudah jelas kekafirannya adalah perbuatan yang keliru. Takut ? Tidak pernah sekalipun terbersit di hati hal itu terhadap Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.

Jika orang Syi’ah mengeluarkan senjata pamungkasnya, yaitu : taqiyyah, I have no comment bout this…

Dan perlu diketahui oleh rekan-rekan sekalian, ‘Ammaar bin Yaasir bahkan mencela orang yang mencela ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa. Perhatikan riwayat berikut :
حدثنا يحيى بن آدم قثنا إسرائيل عن أبي إسحاق عن عريب بن حميد قال رأى عمار يوم الجمل جماعة فقال ما هذا فقالوا رجل يسب عائشة ويقع فيها قال فمشى إليه عمار فقال اسكت مقبوحا منبوحا اتقع في حبيبة رسول الله إنها لزوجته في الجنة
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari ‘Uraib bin Humaid, ia berkata : ‘Ammaar pada peperangan Jamal pernah melihat sekumpulan orang. Lalu ia berkata : “Apakah ini ?”. Mereka berkata : “Seorang laki-laki yang mencaci dan mencela ‘Aaisyah”. ‘Ammaar pun berjalan menuju orang tersebut dan berkata : “Diamlah engkau dari perkataan yang jelek itu. Apakah engkau mencela seorang yang menjadi kesayangan/kekasih Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Sesungguhnya ia adalah istri beliau di surga” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 1647].
Riwayat ini shahih li-ghairihi.[4]

Giliran Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa memberi kesaksian :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ذَكْوَانَ مَوْلَى عَائِشَةَ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ لِابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى عَائِشَةَ وَهِيَ تَمُوتُ وَعِنْدَهَا ابْنُ أَخِيهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ هَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْكِ وَهُوَ مِنْ خَيْرِ بَنِيكِ فَقَالَتْ دَعْنِي مِنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمِنْ تَزْكِيَتِهِ فَقَالَ لَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ فَقِيهٌ فِي دِينِ اللَّهِ فَأْذَنِي لَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْكِ وَلْيُوَدِّعْكِ قَالَتْ فَأْذَنْ لَهُ إِنْ شِئْتَ قَالَ فَأَذِنَ لَهُ فَدَخَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ سَلَّمَ وَجَلَسَ وَقَالَ أَبْشِرِي يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَكِ وَبَيْنَ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكِ كُلُّ أَذًى وَنَصَبٍ أَوْ قَالَ وَصَبٍ وَتَلْقَيْ الْأَحِبَّةَ مُحَمَّدًا وَحِزْبَهُ أَوْ قَالَ أَصْحَابَهُ إِلَّا أَنْ تُفَارِقَ رُوحُكِ جَسَدَكِ فَقَالَتْ وَأَيْضًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتِ أَحَبَّ أَزْوَاجِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ يُحِبُّ إِلَّا طَيِّبًا وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَرَاءَتَكِ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ فَلَيْسَ فِي الْأَرْضِ مَسْجِدٌ إِلَّا وَهُوَ يُتْلَى فِيهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَسَقَطَتْ قِلَادَتُكِ بِالْأَبْوَاءِ فَاحْتَبَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنْزِلِ وَالنَّاسُ مَعَهُ فِي ابْتِغَائِهَا أَوْ قَالَ فِي طَلَبِهَا حَتَّى أَصْبَحَ الْقَوْمُ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا } الْآيَةَ فَكَانَ فِي ذَلِكَ رُخْصَةٌ لِلنَّاسِ عَامَّةً فِي سَبَبِكِ فَوَاللَّهِ إِنَّكِ لَمُبَارَكَةٌ فَقَالَتْ دَعْنِي يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مِنْ هَذَا فَوَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Dzakwaan maulaa ‘Aaisyah : Bahwasannya ia (Dzakwaan) memintakan ijin Ibnu ‘Abbaas kepada ‘Aaisyah yang waktu itu sedang sakit menjelang kematiannya dan di sisinya ada anak saudaranya, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Dzakwan berkata : "Ini Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepadamu dan ia termasuk putra terbaik kaummu". ‘Aaisyah menjawab : "Bebaskan aku dari Ibnu ‘Abbaas dan tazkiyah-nya". ‘Abdurrahmaan berkata kepada ‘Aaisyah : "Ia adalah Qaari` Kitabullah dan orang yang faqih dalam agama. Ijinkanlah ia mengucapkan salam kepadamu dan menjengukmu". ‘Aaisyah berkata : "Ijinkan ia jika engkau berkenan". ‘Abdurrahmaan pun mengijinkan Ibnu ‘Abbaas masuk, maka Ibnu ‘Abbaas pun masuk, mengucapkan salam dan duduk. Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata : "Bergembiralah wahai Ummul-Mukminiin. 

Demi Allah, tidak ada yang menghalangi antara dirimu dan perginya segala penyakit dan bala', serta pertemuan dengan orang-orang tercinta, Muhammad dan pengikutnya - atau dalam satu riwayat -, para sahabatnya, melainkan ruh yang berpisah dari jasadmu". ‘Aaisyah berkata : "Tambah lagi". Ibnu ‘Abbaas lalu berkata : "Engkau adalah isteri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling dicintai, sedangkan beliau tidak mencintai melainkan yang baik. 

Allah menurunkan ayat yang berisi pembebasan dirimu dari atas langit ketujuh, maka tidak satu pun masjid yang luput dari membaca ayat tersebut di waktu pagi dan petang. Dan ketika kalungmu terjatuh di Abwaa', maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun tertahan bersama para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut hingga shubuh mendatangi mereka dalam keadaan tidak mendapatkan air untuk berwudlu, kemudian Allah menurunkan ayat : ‘Maka bertayammumlah dengan tanah yang suci' (QS. Al Maidah : 6), yang mana perkara tayammum ini adalah keringanan untuk umat yang disebabkan olehmu. Maka demi Allah, engkau adalah wanita yang penuh dengan berkah". 'Aaisyah berkata :  "Wahai Ibnu ‘Abbaas, tinggalkan aku dari itu semua. Demi Allah, sungguh aku ingin sekali menjadi orang yang lupa dan dilupakan" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/349 dan dalam Al-Fadlaail no. 1639]. Riwayat ini shahih.[5]

Oleh karenanya, Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
ولا أعلم في أمه محمد صلى الله عليه وسلم، بل ولا في النساء مطلقا، أمرأة أعلم منها.
وذهب بعض العلماء إلى أنها زوجة نبينا صلى الله عليه وسلم في الدنيا والآخرة، فهل فوق ذلك مفخر
“Aku tidak mengetahui seorang pun di kalangan umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan di kalangan wanita secara mutlak, ada wanita yang lebih pandai darinya. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa ia merupakan istri Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Apakah ada kebanggan yang melebihi hal itu ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/140].

Ya benar, tidak ada kebanggaan bagi seorang wanita melebihi kebanggaan mendampingi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat (jannah).

Segala karunia yang Allah ta’ala berikan kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa ternyata tidaklah membuat senang semua pihak. Ada saja pihak-pihak tertentu yang senantiasa sakit kepala membaca riwayat-riwayat ini. Misalnya, Al-‘Ayyaasyiy – salah seorang mufassir Syi’ah – menukil riwayat ‘tandingan’, demi menjatuhkan kedudukan ‘Aaisyah, dari perkataan Ja’far Ash-Shaadiq dengan sanadnya tentang firman Allah ta’ala :
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” (QS. An-Nahlo : 92)

ia (Ja’far Ash-Shaadiq) berkata :
التي نقضت غزلها من بعد قوة أنكاثا : عائشة، هي نكثت  إيمانها
“Seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali; adalah ‘Aaisyah, yang tercerai-berai imannya” [Tafsir Al-‘Ayyaasyiy, 2/269. Lihat pula Al-Burhaan oleh Al-Bahraaniy 2/383 dan Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 7/454].

Al-‘Ayyaasy kembali menukil riwayat dusta dengan sanadnya dari Ja’far Ash-Shaadiq tentang firman Allah ta’ala yang menggambarkan neraka :
لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ
“Jahanam itu mempunyai tujuh pintu” (QS. Al-Hijr : 44)

Ia (Ja’far Ash-Shaadiq) berkata :
يؤتى بجهنم لها سبعة أبواب..... والباب السادس لعسكر.....
“Jahannam didatangkan sedangkan ia mempunyai tujuh buah pintu…… dan pintu keenam adalah untuk ‘pasukan’ (‘askar)….” [Tafsir Al-‘Ayaasyiy 2/243. Lihat juga : Al-Burhaan oleh Al-Bahraaniy 2/345 dan Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 4/378 & 8/220].

‘Pasukan’ (‘askar) dalam perkataan di atas merupakan kinaayah dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dikatakan oleh Al-Majlisiy. Maksudnya, ‘Aaisyah adalah orang yang menaiki onta saat peperangan Jamal, sehingga disebut sebagai ‘askar [Bihaarul-Anwaar, 4/378 & 8/220].

Tentu saja ini dusta atas nama Allah ta’ala.

Entek amek kurang golek, tidak cukup berdusta atas nama Allah, mereka perlu membuat kedustaan tambahan atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[6]. Katanya, dengan sanad sampai dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda :
لا يبغض عليا أحد من أهلي ولا من أمتي إلا خرج من الإيمان
“Tidak ada seorang pun dari kalangan keluargaku/istriku dan tidak pula dari umatku yang membenci ‘Aliy, kecuali ia telah keluar dari keimanan (= kafir)” [lihat : Al-Ikhtishaash oleh Al-Mufiid, hal. 118].

يا علي حربك حربي
“Wahai ‘Aliy, orang yang memerangimu ekuivalen dengan memerangiku” [Ash-Shiraathul-Mustaqiim oleh Al-Bayaadliy, 3/161].

Lantas mereka (orang-orang Syi’ah) berkata : “Orang yang memerangi Nabi itu kufur” [Ash-Shiraathul-Mustaqiim oleh Al-Bayaadliy, 3/161]. Konsekuensinya, ‘Aaisyah pun kufur karena perselisihannya dengan ‘Aliy.

***

‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa adalah istri/wanita yang paling dicintai oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ قَالَ خَالِدٌ الْحَذَّاءُ حَدَّثَنَا عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Telah menceritakan kepada kami Ma’laa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, ia berkata : Telah berkata Khaalid Al-Hadzdzaa’ dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutusnya beserta rombongan pasukan Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aisyah". Aku kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab : "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththab". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3662].

Oleh karenanya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering memanggilkan dengan kata-kata indah bagi ‘Aisyah yang menunjukkan kedekatan dan kasih-sayang. Di antaranya beliau kadang memanggilnya dengan ‘Aaisy’ :
حدثنا أبو اليمان: أخبرنا شعيب، عن الزُهري قال: حدثني أبو سلمة بن عبد الرحمن، أن عائشة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (يا عائش هذا جبريل يقرئك السلام). قلت: وعليه السلام ورحمة الله، قالت: وهو يرى ما لا نرى.
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abirrahmaan : Bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Yaa ‘Aaisy, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu”. Aku (‘Aaisyah) berkata : “Wa’alaihis-salaam warahmatullaah”. ‘Aaisyah berkata : “Jibril itu melihat sesuatu yang tidak kita lihat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6201].

Beliau pun memanggil ‘Aaisyah dengan Humairaa’ (yang kemerah-merahan).
أنا يونس بن عبد الأعلى قال أنا بن وهب قال أخبرني بكر بن مضر عن بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : دخل الحبشة المسجد يلعبون فقال لي يا حميراء أتحبين أن تنظري إليهم فقلت نعم فقام بالباب وجئته فوضعت ذقني على عاتقه فأسندت وجهي إلى خده قالت ومن قولهم يومئذ أبا القاسم طيبا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم حسبك فقلت يا رسول الله لا تعجل فقام لي ثم قال حسبك فقلت لا تعجل يا رسول الله قالت ومالي حب النظر إليهم ولكني أحببت أن يبلغ النساء مقامه لي ومكاني منه 
Telah memberitakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah memberitaan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Bakr bin Mudlar, dari Ibnul-Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Orang-orang Habasyah masuk ke masjid dan bermain-main. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Wahai Humairaa’, apakah engkau suka melihat mereka ?”. Aku berkata : “Ya”. 

Lalu beliau berdiri di samping pintu, lalu aku menghampiri beliau dan aku letakan daguku di atas pundak beliau. Lalu akupun menyandarkan wajahku di pipi beliau”. ‘Aaisyah melanjutkan : “Dan yang termasuk perkataan orang-orang Habasyah tersebut adalah : ‘Wahai Abul-Qaasim yang baik’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Cukupkah engkau (melihatnya)”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah terburu-buru”. Maka beliau pun kembali berdiri. Setelah itu beliau kembali berkata : “Cukupkah engkau (melihatnya)?”. Aku berkata : “Jangan terburu-buru, wahai Rasulullah”. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik melihat mereka, akan tetapi aku senang memperlihatkan kepada para wanita lainnya tentang kedudukan beliau bagiku, dan juga kedudukanku di hati beliau” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 8/181 no. 8902 dan Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 1/268 no. 292].
Hadits ini shahih.[7]

Itu semua merupakan wujud kecintaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Kebalikannya, dari kelompok Syi’ah, mari kita simak penuturan Ya’quub bin Sarraaj :
قَالَ لِيَ اذْهَبْ فَغَيِّرِ اسْمَ ابْنَتِكَ الَّتِي سَمَّيْتَهَا أَمْسِ فَإِنَّهُ اسْمٌ يُبْغِضُهُ اللَّهُ وَ كَانَ وُلِدَتْ لِيَ ابْنَةٌ سَمَّيْتُهَا بِالْحُمَيْرَاءِ
“Maka Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata kepadaku : ‘Pergilah dan ganti nama anak perempuanmu yang telah engkau beri nama kemarin, karena ia adalah nama yang membuat Allah murka’. (Ya’qub bin Sarraaj berkata : ) Kemarin aku dikaruniai anak perempuan yang aku namakan Al-Humairaa” [Al-Kaafiy, 1/310].

Bagaimana Allah ta’ala bisa murka dengan sesuatu yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam cinta kepadanya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridla dengan nama Humairaa’. Telah banyak riwayat yang menyatakan bahwa beliau mengganti nama-nama buruk sebagian shahabat menjadi nama-nama yang baik sesuai syari’at. Dan Humairaa’ adalah salah satu nama/sebutan yang dipilihkan beliau untuk istrinya. Allah tidak murka dengan nama Humairaa’. Justru, Allah ta’ala murka dengan ulah orang-orang Syi’ah yang telah memanipulasi riwayat dengan mengatasnamakan Allah dan Ahlul-Bait.

****

Allah ta’ala telah menyebut istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa salah satu di antaranya - dengan sebutan Ummahatul-Mukminiin (ibunya orang-orang yang beriman) sebagaimana tersebut dalam firman-Nya :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka” [QS. Al-Ahzaab : 6].

Namun tahukah Pembaca Budiman apa yang diucapkan oleh lidah-lidah karatan ulama Syi’ah dalam perkara ini ? Mereka katakan bahwa Ahlus-Sunnah lah yang membuat-buat istilah itu. Telah berkata Ibnul-Muthahhar Al-Hulliy, salah seorang pentolan ulama mereka :
وسموها أمّ المؤمنين، ولم يسموا غيرها بذلك الاسم
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah telah menamakan ‘Aaisyah dengan Ummul-Mukminiin, dan mereka tidak menamakan selain dirinya dengan nama itu” [Minhaajul-Karaamah – bersama Minhaajus-Sunnah 2/198].

Bahkan, mereka menyebut Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah radliyalaahu ‘anha sebagai Ummusy-Syuruur (أم الشرور) – ‘biang kejelekan’ sebagaimana diucapkan oleh Al-Bayaadliy dalam kitabnya Ash-Shiraathul-Mustaqiim 3/161.

Semoga Allah ta’ala membalas kekejiannya dengan setimpal.

Itulah Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ketinggian derajat dan kedudukannya di mata Islam. Istri yang paling dicintai beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat. Sekaligus sedikit informasi tentang mauqif Syi’ah kepadanya. Tidak memudlaratkan kebencian orang-orang yang membenci dari kalangan Syi’ah Raafidlah. Tidaklah salah jika kita mengambil kesimpulan bahwa Islam di satu sisi dan Syi’ah di sisi lain.

Semoga Allah ta’ala memberikan manfaat dari tulisan kecil ini.

-------------------------------------------------------------------------------
[1] Keterangan perawi :
a.     ‘Abdun bin Humaid bin Nashr Al-Kussiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 249 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 634 no. 4294].
b.    ‘Abdurrazzaaq, ia adalah Ibnu Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy (wafat : 211 H); seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya [idem, hal. 607 no. 4092]. ‘Abdun bin Humaid di sini mendengar riwayat ‘Abdurrazzaaq sebelum ikhtilath-nya [Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 92-93 no. 29 beserta komentar muhaqqiq-nya]. Muslim berhujjah dengan riwayat ‘Abdun bin Humaid dari ‘Abdurrazzaaq, sebagaimana dikatakan oleh Al-‘Iraaqiy [Al-Ightibaath biman Rumiya minar-Ruwaat bil-Ikhtilaath, hal. 219].
c.     ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah Al-Kinaaniy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 530 no. 3526].
d.    Ibnu Abi Husain adalah ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain Al-Qurasyiy An-Naufaliy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 719 no. 4939].
e.    Ibnu Abi Mulaikah, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah; seorang yang tsiqah lagi faqiih (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 719 no. 4939].
Sanad hadits ini shahih.
‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim; sebagaimana diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1237, dan darinya Ibnu Hibbaan meriwayatkan dalam Shahih-nya no. 7094.
‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim Al-Qaariy, Abu ‘Utsmaan Al-Makkiy; seorang yang shaduuq (w. 132 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 526 no. 3489].
At-Tirmidziy berkata :
وَقَدْ رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مُرْسَلًا وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَقَدْ رَوَى أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْ هَذَا
“Hadits ini telah diriwayatkan oleh ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah dengan sanad ini secara mursal, tanpa menyebut padanya ‘Aaisyah. Dan Abu Usaamah juga telah meriwayatkan dari Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai sesuatu dari hadits ini” [Al-Jaami’, 6/181].
Diriwayatkannya hadits ini dari jalur Ibnu Mahdiy secara mursal tidaklah membuat hadits ini cacat, sebab sanad bersambung lebih kuat daripada yang mursal. Bahkan, sanad mursal ini menjadi penguat dari sanad hadits maushul ini.

[2] Keterangan perawi :
a.     Ibnu Khuzaimah, seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Lihat biografinya dalam artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html.
b.    Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid bin Abaan Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w. 249 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 390 no. 2428]. Kekeliruan yang disifatkan padanya tidak memudlaratkan riwayatnya, karena hanya sedikit.
c.     Yahyaa bin Sa’iid bin Abaan bin Sa’iid bin Al-‘Aash Al-Umawiy, Abu Ayyuub Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq yughrib (w. 194 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1055 no. 7604]. Namun perkataan yang lebih benar tentang dirinya, ia seorang yang tsiqah, sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy [Al-Kaasyif, 2/366 no. 6172]. Telah di-tsiqah-kan oleh sejumlah ulama seperti : Ibnu Ma’iin, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Ammaar, Ad-Daaruquthniy, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Ibnu Sa’id.
d.    Sa’iid bin Katsiir bin ‘Ubaid Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abul-‘Anbas Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 386 no. 2394].
e.    Katsiir bin ‘Ubaid Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Sa’iid Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq hasanul-hadiits [Tahriirut-Taqriib, 3/194 no. 5619].

Sanad hadits ini hasan, dan ia menjadi shahih (lighairihi) dengan penguat hadits sebelumnya.
[3] Silakan baca artikel kami di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/11/apakah-aisyah-berniat-memerangi-ali.html.

[4] Keterangan perawi :
a.     Yahyaa bin Aadam bin Sulaimaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Zakariyyaa Al-Kuufiy; seorang tsiqah, haafidh, lagi mempunyai keutamaan (w. 203 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1047-1048 no. 7546].
b.    Israaiil, ia adalah Ibnu Yuunus bin Abi Ishaaq As-Sabii’iy Al-Hamdaaniy; seorang yang tsiqah (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 134 no. 405].
c.     Abu Ishaaq, ia adalah As-Sabii’iy, ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, ‘aabid, namun bercampur hapalannya di akhir umurnya (w. 129 dalam usia 96 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 739 no. 5100]. Israail mendengar hadits dari Abu Ishaaq di akhir umurnya [Al-Ightibaath, hal. 278-279].
d.    ‘Ariib bin Humaid, Abu ‘Ammaar Al-Hamdaaniy Ad-Duhniy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 675 no. 4605].
Riwayat di atas juga dibawakan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 3/186 dan Ibnu Sa’d 8/65 dari jalan Israaiil bin Yuunus.
Israaiil dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari :
a.     Al-Jarraah bin Maliih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1631 : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ayahnya, dari Abu Ishaaq.
Keterangan perawi :
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Wakii’ Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, sering keliru  (w. 175/176 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 196 no. 916].
b.    Yuunus bin Abi Ishaaq, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/44 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Iisaa Muusaa bin ‘Aliy Al-Khataliy : Telah menceritakan kepada kami Jaabir bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan Al-Faqiih, dari Yuunus bin Abi Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq.
Muhammad bin Al-Hasan adalah seorang perawi yang sangat lemah [lihat Mishbaahul-Ariib, 3/106 no. 23151].
c.     ‘Amru bin Qais dan Sufyaan Ats-Tsauriy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 23/40 no. 102 dan Al-Haakim no. 5684 : Telah menceritakan kepada kami Asy-Syaikh Abu Bakr bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abaan Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Syihaab Al-Hanaath : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Qais dan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq.
Abu Bakr bin Ishaaq adalah Al-Haafidh Ibnu Khuzaimah. Ia, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan Sufyaan Ats-Tsauriy adalah orang-orang tsiqaat yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Muhammad bin Abaan bin ‘Imraan As-Sulamiy, Abul-Hasan Al-Waasithiy; seorang yang shaduuq (w. 238 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 819 no. 5724].
Abu Syihaab Al-Hanaath, ia adalah ‘Abdu Rabbih bin Naafi’ Al-Kinaaniy Al-Hanaath; seorang yang shaduuq mendekati tsiqah (w. 171/172). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahrriut-Taqriib, 2/304 no. 3790].
d.    Zuhair bin Mu’aawiyyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d sebagaimana dalam Musnad-nya no. 2629, dan dari jalannya Ath-Thabaraaniy 23/40 no. 103.
Zuhair bin Mu’aawiyyah seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 342 no. 2062].
Riwayat tersebut juga dibawakan oleh :
a.     At-Tirmidziy no. 3888 dari Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan.
Semua perawi yang disebutkan adalah tsiqaat.
b.    Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 22/184 dengan sanadnya sampai Abul-Qaasim Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami Basyaar bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Syariik.
Basyaar bin Muusa dan Syariik adalah dua orang perawi lemah.
Keduanya (Sufyaan dan Syariik) dari Abu Ishaaq, dari ‘Amru bin Ghaalib, dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu.
‘Amru bin Ghaalib adalah seorang yang tsiqah, telah di-tsiqah-kan oleh An-Nasaa’iy, At-Tirmidziy, dan Ibnu Hibbaan [Tahdziibut-Tahdziib, 8/88].
Semua riwayat di atas sanadnya berporos pada Abu Ishaaq yang meriwayatkan dari ‘Ariib bin Humaid dan ‘Amru bin Ghaalib dengan ‘an’anah. Ia (Abu Ishaaq) sendiri seorang mudallis. Ibnu Hajar meletakkannya pada martabat ketiga [lihat : Thabaqaatul-Mudallisiin no. 91]. Akan tetapi ini perlu di-tahqiq. Yang benar, ia seorang yang sedikit tadlis-nya. Riwayatnya tetap dihukumi bersambung selama tidak ada bukti bahwa ia memang melakukan tadlis terhadap riwayat tersebut. Ada bahasan menarik tentang tadlis Abu Ishaaq As-Sabi’iy ini, silakan baca : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=104306.
Adapun periwayatan para perawi setelah ikhtilath-nya, maka itu ndak ngaruh karena keberadaan beberapa mutaba’aat yang disebutkan di atas.
Kesimpulannya, riwayat ini shahih, sebagaimana dikatakan oleh At-Tirmidziy. Wallaahu a’lam.
Catatan : Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah men-dla’if-kan riwayat ini, sebagaimana tertuang dalam Dla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 445.

[5] Keterangan perawi :
a.     ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam, telah lalu keterangan tentangnya.
b.    Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 154 dalam usia 58 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
c.     Ibnu Khutsaim, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim. Telah lalu keterangan tentangnya.
d.    Ibnu Abi Mulaikah, telah lalu keterangan tentangnya.
e.    Dzakwaan, Abu ‘Amru Al-Madaniy, maula ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 313 no. 1851].
Sanad hadits ini shahih.
‘Abdurrazzaaq mempunyai mutaba’ah dari Sufyaan bin ‘Uyainah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/220 tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Diriwayatkan pula Al-Haakim 4/8-9 dari ‘Aliy bin Hamsyaadz Al’Adl : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari Ibnu Abi Mulaikah, tanpa menyebutkan Dzakwaan. Selain tidak menyebutkan Dzakwaan, riwayat Al-Haakim ini juga tidak menyebutkan Ma’mar bin Raasyid antara Sufyaan dan Ibnu Khutsaim.
Ma’mar dalam periwayatan dari Ibnu Khutsaim mempunyai mutaba’aat dari :
a.     Zaaidah bin Qudaamah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/277 dan Ath-Thabaraaniy 10/390-391 no. 10783 dari jalan Mu’aawiyyah bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaaidah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Khutsaim.
Mu’aawiyyah bin ‘Amru bin Al-Muhallab adalah tsiqah [idem, hal. 956 no. 6816]. Adapun Zaaidah bin Qudaamah, ia seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal. 333 no. 1993].
b.    Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal. 47-48 no. 84 : Telah menceritakan kepada kami An-Nufailiy : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim.
An-Nufailiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Nufail Al-Qadlaa’iy, Abu Ja’far An-Nufailiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh [idem, hal. 543 no. 3619].
c.     Bisyr bin Al-Mufadldlal; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2648 : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kam ‘Abdullah bin ‘Utsmaan (bin Khutsaim).
‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawaaririy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal. 643 no. 4354]. Bisyr bin Al-Mufadldlal bin Laahiq Ar-Raqqaasiy adalah seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid [idem, hal. 171 no. 710].
d.    Yahyaa bin Sulaim; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 7108 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/45 dari jalan Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Janaad Al-Halabiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Abdulah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim; dengan tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Al-Hasan bin Sufyan bin ‘Aamir bin ‘Abdil-‘Aziz An-Nasawiy, seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/336 no. 6988]. Al-Haitsaam bin Jannaad, disebutkan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat 9/237. Yahyaa bin Sulaim Al-Qurasyiy Ath-Thaaifiy, seorang yang shaduuq, namun jelek hapalannya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1057 no. 7613].
Ibnu Khutsaim dalam periwayatan dari Ibnu Abi Mulaikah juga mempunyai mutaba’aah dari ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4753; tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Atsar ini juga diriwayatkan secara ringkas oleh Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1636 dari jalan Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Abi Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin ‘Ubaid : “Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepada ‘Aaisyah (untuk menemuinya/menjenguknya) saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya…..dst”.
Haaruun bin Abi Ibraahiim Al-Barbariy, seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/96-97 no. 399]. ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair bin Qataadah Al-Laitsiy, seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 524-525 no. 3478].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy secara ringkas no. 3771 dari jalan Muhammad bin Basyaar, dan no. 4754 dari jalan Muhammad bin Al-Mutsannaa; keduanya berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Al-Qaasim : “Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepada ‘Aaisyah…..dst.”.

[6] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat shahih lagi mutawatir bersabda :
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkan tempat duduknya (kelak) di neraka”.

[7] Keterangan perawi :
a.     Yuunus bin ‘Abdil-A’laa bin Maisarah bin Hafsh bin Hayyaan Ash-Shadafiy, Abu Muusaa Al-Mishriy; seorang yang tsiqah (170-264 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1098 no. 7964].
b.    ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid (125-197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 556 no. 3718].
c.     Bakr bin Mudlar bin Muhammad bin Hakiim bin Salmaan, Abu Muhammad/Abu ‘Abdil-Malik Al-Mishriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (102-173/174 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 176 no. 759].
d.    Ibnul-Haad, ia adalah Yaziid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad Al-Laitsiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya (w. 139 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1077 no. 7788].
e.    Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits bin Khaalid Al-Qurasyiy At-Taimiy; seorang yang tsiqah (lahu afraad) (w. 120 dalam usia 74 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 819 no. 5727].
f.      Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah banyak haditsnya (w. 94 H dalam usia 72 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
Para perawinya tsiqaat, sanadnya bersambung, dan tidak ada ‘illat sedikitpun.
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 2/444 dan Al-‘Iraaqiy dalam Takhriij Al-Ihyaa’ 1/393.

Sumber: Abul Jauzaa
Read More...

Wasiat Nabi kepada ‘Ali yang Tidak Diterima oleh Orang Syi’ah

wasiat nabi
Pingin tahu atau pingin tahu banget ?. Dalam referensi Syi’ah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah berkata kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :
....... يا علي أنت وصيي على أهل بيتي حيهم وميتهم، وعلى نسائي: فمن ثبتها لقيتني غدا، ومن طلقتها فأنا برئ منها، لم ترني (5) ولم أرها في عرصة القيامة، وأنت خليفتي على أمتي من بعدي.......
“….Wahai ‘Aliy, engkau adalah washiy-ku terhadap Ahlul-Baitku, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, (dan juga washiy-ku) terhadap istri-istriku. Barangsiapa (diantara istriku) yang tetap aku pertahankan, maka ia akan berjumpa denganku kelak (di surga). Dan barangsiapa (diantara istriku) yang aku ceraikan, maka aku berlepas diri darinya. Ia tidak akan melihatku dan akupun tidak akan melihatnya kelak di padang Mahsyar. Engkau adalah khalifahku atas umatku sepeninggalku kelak….” [Al-Ghaibah oleh Ath-Thuusiy, hal. 150 – sumber : sini].

Lafadhnya sebenarnya panjang, namun saya cuplik yang berkaitan dengan judul saja. Riwayat ini menarik, karena secara umum orang-orang Syi’ah memegang dan berhujjah dengannya (kecuali sedikit hal yang akan dibahas di bawah).

Pertanyaannya : Siapakah di antara istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang tetap dipertahankan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir hayat beliau ?. Benar, di antaranya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa. Lantas, kenapa ?. Konsekuensinya, menurut riwayat di atas, ‘Aaisyah akan menemui beliau kelak di surga. Bisa dipahami ?.

Pendek kata, ‘Aaisyah termasuk ahli surga.

Tapi apakah orang-orang Syi’ah menerimanya ?. Ternyata tidak. Mereka adalah orang yang pertama kali melanggar riwayat yang mereka tulis sendiri. Mereka menerima semua kalimat, kecuali yang berwarna biru. Tidak ada sesuatu yang menyebabkan mereka menolak (konsekuensi) kalimat yang berwarna biru di atas kecuali karena kebencian dan dendam kesumat, turun temurun dari generasi ke generasi.

Mereka adalah kaum yang pertama kali berkhianat terhadap wasiat Nabi. Mereka mencaci-maki dan mengkafirkan istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Tak percaya ?. Lihat dan dengarkan cacian Hasan Syahaatah (yang beberapa waktu lalu mati terhina di jalanan) terhadap ‘Aaisyah (dan juga shahabat Nabi yang lain) :


Tentang bukti penolakan terhadap wasiat Nabi di atas, maka simaklah alur logika ‘kocak’ (maaf) saat mereka berdebat dengan Asy-Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’uur hafidhahullah berikut :


Untuk mencintai ‘Aaisyah dan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam yang lain, kita tidak terlalu butuh riwayat Ath-Thuusiy, karena Allah ta’ala berfirman :

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ 

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka” [QS. Al-Ahzaab : 6].[1]

Mereka adalah ibu-ibu kita. Tidak akan mungkin kita mencaci maki dan mengkafirkan ibu kita, ibu orang-orang beriman (ummahatul-mukminiin).

Wallaahul-musta’aan.

--------------------------------------------
[1] Baca artikel : ‘Aaisyah adalah Istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa salam di Dunia dan Akhirat.

Sumber: Ust. Abul Jauzaa
Read More...