Blog Siapa Syiah, mengungkap siapa syiah sebenarnya

Aqidah Raj’ah bagi Syiah Rafidhah

Aqidah Raj’ah bagi Syiah Rafidhah
Orang-orang (Syi'ah) Rafidhah membuat bid'ah yang sangat besar, yaitu aqidah Raj'ah.[1] Al-Mufid berkata, “Syi'ah Imamiyah sepakat keharusan hidupnya kembali sejumlah orang yang sudah mati.”[2]

Raj'ah yang akan dialami oleh imam terakhir Syi'ah yang disebut dengan “Al-Qaim” di akhir zaman, akan keluar dari sirdab (gua tempat persembunyiannya) dan akan menyembelih semua lawan politiknya dan akan mengembalikan kepada orang-orang Syi'ah hak-hak mereka yang telah dirampas oleh kelompok-kelompok lain sepanjang abad.[3]

Sayyid al-Murtadha mengatakan dalam bukunya al-Masail an-Nashiriah, bahwa Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebuah pohon, pada masa bangkitnya al-Mahdi imam mereka yang ke dua belas yang dijuluki Qa'imu Alu Muhammad, di mana pohon itu hidup dalam keadaan segar dan akan langsung kering sete-lah digunakan untuk menyalib.[4]

Dikatakan oleh al-Majlisi dalam bukunya Haqqul Yaqin mengutip perkataan Muhammad al-Baqir: “Jika al-Mahdi muncul ia akan menghidupkan Aisyah radhiallahu 'anha untuk dihukum.”[5]

Kemudian aqidah Raj'ah ini mengalami perkembangan yang sangat cepat sehingga mereka mengata-kan bahwa semua orang Syi'ah bersama para imamnya, musuh-musuhnya dan para pemimpinnya akan dihidupkan kembali.

Aqidah khurafat ini jelas membuka tabir kedengkian yang amat dalam pada jiwa orang-orang Syi'ah, yang memunculkan seperti ungkapan-ungkapan kosong di atas.

Aqidah ini dijadikan sebagai sarana oleh golongan Saba'iyah untuk mengingkari Hari Kiamat.
Yang dimaksud dengan aqidah Raj'ah ini adalah pembalasan terhadap musuh-musuh Syi'ah. Tapi sia-pakah musuh-musuh Syi'ah? Riwayat berikut ini menjelaskan kepada Anda wahai saudaraku Muslim, kedengkian orang-orang Rafidhah kepada Ahlus Sunnah dan loyalitas mereka kepada orang Yahudi dan Nashrani, yaitu riwayat yang disebutkan oleh al-Majlisi dalam kitabnya Biharul Anwar dari Abu Bashir, bahwa Abu Abdillah alaihissalam berkata kepadanya: “Wahai Abu Muhammad, sepertinya aku melihat al-Qa'im turun di masjid as-Sahlah dengan membawa keluarga dan anak-anaknya…”, sampai pada perkataannya (Abu Bashir): “Aku bertanya: “Bagaimana perlakuan dia terhadap orang-orang kafir dzimmi?” Dia menjawab: “Dia akan mengajak damai dengan mereka sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajak damai mereka.

Dan me-reka akan membayar jizyah (upeti) dengan tangan mereka dalam keadaan hina.” Aku bertanya lagi: “Bagaimana jika ada yang memusuhi kalian?.” Dia menjawab: “Tidak wahai Abu Muhammad, tidaklah orang yang menyelisihi kita akan mendapatkan bagian sedikitpun, sesungguhnya Allah telah menghalalkan bagi kita darah mereka ketika al-Qa'im datang. Memang sekarang darah mereka haram, dan jangan kamu terpengaruh dengan seorang pun, nanti bila al-Qa'im telah datang, Dia akan membalaskan dendam untuk Allah, Rasul-Nya dan untuk kita semuanya.”[6]

Lihatlah wahai saudaraku se-Islam, bagaimana Imam Mahdinya orang Syi'ah mengajak damai orang Yahudi dan Nashrani, sebaliknya malah memerangi orang-orang yang menyelisihi mereka, yaitu Ahlus Sunnah.

Mungkin seseorang akan berkata: Ancaman ini diarahkan kepada orang-orang yang memusuhi Ahlul Bait, sedang Ahlus Sunnah tidak memusuhi Ahlul Bait, maka Ahlus Sunnah tidak terkena ancaman halal darah dari Imam Mahdi-nya orang-orang Syi'ah.

Kita jawab, bahwa banyak riwayat mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan musuh Ahlul Bait adalah Ahlus Sunnah. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, silakan lihat buku al-Mahasinun Nafsaaniyyah tulisan Husain Ali 'Asfur ad-Dirazi al-Bahrani, dan kitab as-Syihaabuts Tsaqib fi Bayaani Ma'nan Naashib karangan Yusuf al-Bahrani.

----------------------------------------------------------------

[1] Raj'ah artinya kembali hidup setelah mati sebelum Hari Kiamat. (penj).
[2] Al-Mufid, Awa'ilul Maqalat, 51
[3] Muhibbuddin al-Khatib, al-Khutut al-'Aridhah, 80
[4] Al-Mufid, Awa'ilul Maqalat, 95
[5] Muhammad al-Baqir al-Majlisi, Haqqul Yaqin, 347
[6] Al-Najisi, Biharul Anwar, 52/376

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Aqidah Syiah Rafidhah tentang Imam-imam Mereka

Aqidah Syiah Rafidhah
Orang-orang Rafidhah mengaku bahwa para imam mereka adalah ma'shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) serta mengetahui yang ghaib. Dikutip oleh al-Kulaini dalam bukunya Ushulul Kaafi, Imam Ja'far ash-Shadiq berkata, “Kami adalah gudang ilmunya Allah dan kami penerjemah perintah Allah serta kami kaum yang ma'shum, diwajibkan taat kepada kami, dan dilarang menyelisihi kami, dan kami menjadi saksi atas perbuatan manusia di bawah langit dan di atas bumi.”[1]

Al-Kulaini pun berpendapat dalam buku yang sama, bab: Para Imam Dapat Mengetahui Apa Saja Jika Menghendakinya, dari Ja'far ia berkata: “Imam bisa mengetahui apa saja jika memang menghendaki-nya dan mereka mengetahui kapan mereka mati dan tidak mati melainkan karena keinginan sendiri.”[2]

Al-Khameini orang binasa dalam bukunya Tahrirul Wasilah mengatakan: “Sesungguhnya imam kita mempunyai kedudukan terpuji dan derajat yang tinggi, memiliki kekuasaan penciptaan, yang semua makhluk tunduk kepada kekuasaan dan kekuatannya.” Dia juga mengatakan: “Sesungguhnya kita (imam yang dua belas) memiliki keadaaan-keadaan tertentu bersama Allah yang tidak dimiliki oleh seorang malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus.”[3]

Bahkan orang-orang Rafidhah keterlaluan dalam mengagungkan imam-imam mereka, sampai melebihkan mereka di atas semua nabi kecuali Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana dikatakan oleh al-Majlisi dalam bukunya Mir'aatul 'Uquul: “Dan sesungguhnya mere-ka lebih utama dan lebih mulia daripada semua nabi kecuali Nabi kita Muhammad.”[4]

Pengkultusan mereka tidak hanya sampai di sini saja, mereka mengatakan juga bahwa para imam mereka memiliki kekuasaan penciptaan, sebagaimana dikatakan oleh al-Khuu'iy dalam bukunya Mishbahul Faqahah: “Sepertinya sudah tidak ada keraguan lagi akan kekuasaan mereka terhadap semua makhluk, berdasarkan yang dipahami dari riwayat-riwayat yang ada, karena mereka itu adalah perantara dalam penciptaan dan semua yang ada tercipta karena adanya mereka. Karena merekalah semua ada, seandainya bukan karena mereka, manusia tidak akan diciptakan. Maka manusia tercipta untuk mereka dan dengan mereka terciptanya manusia.

Merekalah perantara dalam penambahan makhluk, bahkan mereka itu mempunyai kekuasaan penciptaan di bawah Sang Pencipta. Maka kekuasaan ini setara dengan kekuasaan Allah terhadap makhluk.”[5]

Kita berlindung kepada Allah dari sikap melampaui batas dan kesesatan ini. Bagaimana mungkin para imam mereka adalah perantara dalam penciptaan? Bagaimana para imam tersebut adalah sebab penciptaan makhluk? Dan bagaimana mereka adalah sebab penciptaan semua manusia? Bagaimana mungkin manusia tercipta untuk para imam itu, sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) الذاريات [٥٦]

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan-keyakinan sesat ini yang jauh dari al-Qur’an dan Sunnah yang suci. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Rafidhah menyangka bahwa urusan agama diserahkan kepada para ulama dan ahli ibadah di antara mereka. Halal adalah yang menurut mereka halal dan haram adalah yang menurut mereka haram serta konsep keagamaan adalah yang mereka syariatkan.”[6]

Jika Anda wahai pembaca yang budiman ingin mengetahui kekafiran, kemusyrikan, dan pengultusan yang berlebih-lebihan yang diyakini oleh orang-orang Rafidhah, bacalah bait-bait berikut ini yang dilantun-kan oleh tokoh kontemporer mereka yang bernama Ibrahim al-Amili tentang penyanjungan terhadap Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu:

Wahai Abu Hasan engkau adalah mata Tuhan
Dan tanda kekuasaan-Nya yang tinggi
Engkau adalah yang mengerti semua yang ghaib
Tidaklah ada sesuatu yang tersembunyi darimu
Engkaulah yang menggerakkan perjalanan semua yang ada
Dan milikmulah samudera-samudera yang luas
Milikmu segala urusan, bila engkau menghendaki engkau hidupkan besok
Dan bila engkau menghendaki engkau cabut nyawa

Penyair lain yang bernama Ali bin Sulaiman al-Mazidi ketika memuji Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu  berkata dalam bait-bait syairnya:

Abu Hasan engkau suami sang perawan
Engkau berada di sisi Allah dan diri Rasul
Purnama kesempurnaan dan matahari kecerdasan
Hamba Rabb dan engkau adalah raja
Nabi memanggilmu pada hari Kudair
Memberi ketetapan untukmu pada hari Ghadir
Bahwa engkau pemimpin kaum Mukminin
Dan mengalungkan kepemimpinannya di lehermu
Kepadamu kembali segala urusan
Engkau mengetahui segala yang terdapat di dalam dada
Engkaulah yang membangkitkan penghuni kubur
Kiamat ada dalam ketetapanmu
Engkau maha mendengar lagi maha mengetahui
Maha kuasa atas segala sesuatu
Jika bukan karenamu bintang tak akan berjalan
Dan tidak akan ada planet yang beredar.
Engkau mengetahui segala makhluk
Dan engkau yang berbicara dengan Ash-habul Kahfi
Jika bukan karenamu maka Musa tidak akan berbicara dengan Allah
Maha suci zat yang menjadikanmu
Engkau akan mengetahui rahasia namamu di alam raya
Cintamu bagaikan matahari di pelupuk mata
Murkamu pada orang-orang yang membencimu
Bak bara, dan tidak ada keberuntungan bagi mereka yang membencimu
Maka siapa yang telah berlalu dan yang akan datang
Siapakah para Nabi, siapakah pula para Rasul
Apa pula pena lauh mahfuzh, apa pula alam raya
Semuanya menghamba dan menjadi budakmu
Abu Hasan, wahai pengatur alam
Gua pelindung orang-orang terusir, tempat berteduh para musafir
Pemberi minum bagi pecintamu pada Hari Kiamat
Mengacuhkan orang yang mengingkarimu pada Hari Kbangkitan
Abu Hasan, wahai Ali yang agung
Kecintaanku padamu menjadi penerang dalam kuburku
Namamu bagiku, menjadi penghibur di kala susah
Cintaku padamu jalan menuju surgamu
Engkau penambah bekal bagi diriku
Tatkala datang keputusan Ilah yang mulia.
Ketika penyeru mengumumkan, bersegeralah, bersegeralah
Tidak mungkin engkau meninggalkan orang yang berlindung kepadamu

Apakah mungkin seorang Muslim yang komitmen kepada agamanya membuat syair seperti ini? Demi Allah, sesungguhnya orang-orang jahiliyah dulu pun tidak pernah terperosok ke dalam kesyirikan, kekafiran, dan berlebih-lebihan sebagaimana keterperosokan yang dialami oleh penganut Rafidhah sesat ini.

---------------------------------------------------------------------------------------

[1] Ushuulul Kaafi, 1/165
[2] Ushulul Kaafi, dalam Kitabul Hujjah, 1/258
[3] Al Khameini, Tahriirul Wasilah, 52, 94
[4] Al-Majlisi, Mir'aatul 'Uquul fi Syarhi Akhbarir Rasul,  2/ 290
[5] Abul Qasim al-Khuu'iy, Mishbahul Faqahah, 5/ 33
[6] Minhajus Sunnah, hal. 1/482

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Sisi Kesamaan Antara Yahudi dan Syiah Rafidhah

yahudi dan syiah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bukti kesamaan antara Yahudi dan Rafidhah adalah bahwa fitnah yang ada pada (Syiah) Rafidhah itu persis dengan fitnah yang ada pada Yahudi, yaitu jika orang Yahudi mengatakan yang layak memimpin kekuasaan hanyalah keluarga Daud, begitu juga menurut Rafidhah, tak layak memegang imamah (kepempinan) kecuali anak keturunan Ali.”

Orang Yahudi mengatakan: “Tak ada jihad di jalan Allah sampai Dajjal keluar dan pedang turun di tangan”. Sementara orang Rafidhah mengatakan: “Tidak ada jihad di jalan Allah sampai Imam Mahdi (Imam ke dua belas mereka) keluar dan ada yang mengomandokan dari langit.”

Orang-orang Yahudi mengakhirkan shalat sampai munculnya bintang-bintang, seperti orang-orang Rafi-dhah mengakhirkan shalat Maghrib sampai munculnya bintang-bintang. Sedangkan hadits Rasulullah r me-ngingkari hal itu:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى فِطْرَةٍ مَالَمْ يُؤَخِّرُوْا الْمَغْرِبَ إِلَى اشْتِبَاكِ النُّجُوْمِ
“Umatku masih dalam keadaan fitrah, selama ti-dak mengakhirkan shalat Maghrib sampai mun-culnya bintang.”[1]

Orang-orang Yahudi memutarbalikkan Taurat dan merubahnya, sebagaimana orang Rafidhah memutar-balikkan al-Qur'an dan merubahnya. Orang-orang Yahudi tidak berpendapat bolehnya mengusap al-Khuf (sepatu bot) saat wudhu sebagaimana orang-orang Rafidhah.

Orang-orang Yahudi membenci malaikat Jibril. Mereka mengatakan ia musuh kami dari golongan malaikat, sebagaimana Rafidhah mengatakan malaikat Jibril 'alahis sallam salah alamat ketika menyampaikan wahyu kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.[2]

Rafidhah sama dengan orang Nashrani dalam masalah maskawin, yaitu wanita-wanita Nashrani tidak berhak mendapatkan maskawin karena mereka hanya untuk dipakai bersenang-senang (mut'ah), seperti Rafidhah melakukan nikah Mut'ah dan menghalalkannya.

Tetapi orang-orang Yahudi dan Nashrani memili-ki dua keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang-orang Rafidhah:
1. Bila orang-orang Yahudi ditanya tentang siapa sebaik-baik pemeluk agama kalian? Mereka akan menjawab para sahabat Nabi Musa 'alaihis sallam.
2. Bila orang-orang Nashrani ditanya siapa sebaik-baik pemeluk agama kalian? Mereka akan menjawab para sahabat setia Nabi Isa 'alaihis sallam.

Tetapi jika orang Rafidhah ditanya tentang siapa yang paling buruk dari pemeluk agama kalian? Mereka menjawab para sahabat Muhammad.[3]

Syaikh Abdullah al-Jumaili dalam kitabnya Badzlul Majhud fi Musyabahatir Rafidhati lil Yahud beberapa kemiripan antara Rafidhah dengan orang Yahudi:
Orang Rafidhah dan Yahudi selalu mengkafirkan serta menghalalkan darah dan harta orang-orang yang selain mereka. Beliau (Syaikh Abdullah al-Jumaili) berkata, bahwa orang Yahudi membagi manusia menjadi dua: Yahudi dan Umamiyyun.

Umamiyyun artinya orang-orang yang bukan Yahudi. Orang yang beriman hanyalah orang Yahudi saja, sedang orang Umamiyyun adalah orang-orang kafir, penyembah berhala, tidak mengetahui Allah subhanahu wa ta'ala. Dalam kitab Talmud dikatakan: “Setiap golongan yang bukan Yahudi adalah penyembah berhala. Ini sesuai dengan ajaran Hakhomat.” Bahkan Isa al-Masih 'alaihis sallam pun tak luput mereka kafirkan sebagaimana dalam kitab Talmud, mereka mensifati Nabi Isa dengan perkataan: “Kafir, tidak mengerti Allah.” Ini seperti keyakinan orang Rafidhah ha-nya mereka kaum Mukminin, sedang kaum Muslimin yang lain adalah murtad tak mendapatkan bagian Islam sedikitpun.

Kaum Rafidhah ini mengkafirkan kaum Muslimin karena dianggap belum menjalankan ajaran al-Wilayah yang mereka yakini, karena ajaran ini termasuk dalam salah satu rukun Islam mereka. Maka setiap yang belum menjalankan ajaran al-Wilayah ini, mereka nyatakan sebagai kafir dan seperti orang yang belum mengucapkan dua kalimat Syahadat, atau meninggalkan shalat. Bahkan ajaran al-Wilayah ini menurut mereka lebih penting dari semua rukun Islam sebagaimana diriwayatkan oleh al-Barqi dari Abu Abdillah alaihissalam, dia mengatakan: “Tidaklah seorang pun berada di atas agama Nabi Ibrahim kecuali kita dan pengikut kita, sedang semua manusia yang lain adalah lepas darinya.” Dan dalam kitab Tafsir al-Qummi, diriwayatkan dari Abu Abdillah alaihissalam bahwa dia berkata: “Tidaklah berada di atas agama Islam orang yang bukan golongan kita dan bukan golongan mereka (Syi'ah yang lain) sampai Hari Kiamat.”[4]

-------------------------------------------------------------------------------

[1] HR. Imam Ahmad (4/147, 5/417, 422) Abu Dawud (4/8) dan Ibnu Majah dalam az-Zawaid dengan sanad hasan.
[2] Bagian sekte Rafidhah bernama al-Gharibiyyah mengatakan, Jibril telah berkhianat disebabkan telah menyampaikan wahyu kepada Muhammad r, sebab yang berhak membawa risalah Islam ini adalah Ali bin Abi Thalib, dengan sebab ini mereka mengatakan al-Amin (Jibril telah berkhianat dan menghalangi—wahyu—dari Ali). Renungkanlah wahai saudaraku Muslim, ba-gaimana mereka menyangka Jibril telah berkhianat sedangkan Allah I telah mensifatinya dengan al-amin (terpercaya) dengan firman-Nya:
"Telah turun kepadanya Jibril yang dipercaya." (Asy-Syu'ara:193)
Dan firman-Nya yang lain:
"Ditaati dan dipercaya." (At-Takwir : 21)
Lalu apa komentar Anda tentang aqidah ini yang diyakini oleh orang-orang Rafidhah?
[3] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, 1/24
[4] Abdullah al-Jumaili, Badzlul Majhud fi Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 2/559, 568. Untuk keterangan lebih lanjut berkaitan dengan golongan Rafidhah ini yang mengkafirkan golongan-golongan kaum Muslimin, silakan lihat buku saya asy-Syi'ah al-Itsna 'Asyriyyah wa Takfiruhum li 'Umumil Muslimin (Kelompok Syi'ah al-Itsna 'Asyriyah dan Bagaimana Mereka Mengkafirkan Semua Kaum Muslimin).

Sumber: dd-sunnah.net

Read More...

Aqidah Syiah Rafidhah tentang Para Sahabat Rasulullah

Aqidah Syiah Rafidhah tentang Para Sahabat
Aqidah Syiah Rafidhah berpijak di atas prinsip mencaci, mencela dan mengkafirkan para sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-. Al-Kulaini menyebutkan dalam bukunya Furu'ul Kaafi yang diriwayatkan dari Ja'far alaihissalam: “Se-mua orang murtad (keluar dari Islam) sepeninggal Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-, kecuali tiga orang,” kemudian saya bertanya kepadanya: “Siapakah ketiga sahabat ini? Ia menjawab: “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.”[1]

Al-Majlisi dalam kitab Biharul Anwar mengisah-kan bahwa seorang budak Ali bin Husain berkata: “Aku pernah bersamanya saat dia menyendiri, aku katakan: “Aku punya hak yang harus kamu penuhi, kecuali jika kau beritahukan kepadaku tentang dua orang ini: tentang Abu Bakar dan Umar.” Dia menjawab: “Keduanya kafir, dan kafir juga orang yang mencintai kedua-nya.” ”Diriwayatkan juga dari Abu Hamzah ats-Tsumali bahwa dia pernah bertanya kepada Ali bin Husain tentang kedua orang itu (Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma), maka dia menjawab: “Keduanya kafir, dan kafir juga orang yang setia kepada mereka.”[2]

Dalam Tafsir al-Qummi, saat menafsirkan firman Allah -subhanahu wa ta'ala- dalam surat an-Nahl ayat 90:
 وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“…dan Allah melarang dari perbuatan keji, ke-mungkaran dan permusuhan.”
Mereka menafsirkan: الفحشاء (perbuatan keji) adalah Abu Bakar, وَالْمُنْكَرِ  (kemungkaran) adalah Umar dan وَالْبَغْيِ (permusuhan) adalah Utsman.[3]

Al-Majlisi dalam kitab Biharul Anwar mengatakan: “Riwayat yang menunjukkan kafirnya Abu Bakar dan Umar beserta orang-orang yang sejenis dengan keduanya, pahala orang yang melaknat dan berlepas diri dari mereka dan riwayat bid'ah mereka sangat banyak jika disebutkan di satu jilid ini, atau bahkan seandainya dalam buku berjilid-jilid. Namun apa yang kami paparkan sudah cukup bagi orang yang ingin diberi hidayah oleh Allah -subhanahu wa ta'ala- ke jalan yang lurus.”[4]

Bahkan al-Majlisi dalam kitab Biharul Anwar me-nyebutkan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu'awiyah radhiallahu 'anhum, semuanya berada dalam peti-peti dari api neraka. Wal 'iyadzu billah.[5]

Mereka (Syi'ah) juga mengatakan dalam kitab me-reka Ihqaqul Haq karya al-Mar'asyi: “Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Laknatilah kedua patung Quraisy, kedua Jibt,[6] dan Thaghut-nya dan kedua anak perempuan mereka” (maksudnya: Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah).[7]

Al-Majlisi dalam risalahnya yang berjudul al-'Aqa'id mengatakan: “Di antara perkara yang termasuk fundamental agama imamiyyah ini adalah menghalal-kan nikah mut'ah, haji tamattu' dan berlepas diri dari tiga orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman), Mu'awiyah, Yazid bin Mu'awiyah dan setiap orang yang memerangi Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib).”[8]

Pada tanggal 10 Muharram, mereka membawa anjing yang diberi nama Umar, kemudian mereka beramai-ramai memukulinya dengan tongkat dan melemparinya dengan batu sampai mati, lalu mereka mendatangkan kambing betina yang diberi nama Aisyah, lalu mereka mulai mencabuti bulunya dan memukulinya dengan sepatu sampai mati.[9]

Sebagaimana juga mereka mengadakan pesta merayakan hari kematian Umar bin al-Khatthab -radhiallahu 'anhu-, dan memberikan penghargaan kepada pembunuhnya: Abu Lu'lu'ah seorang Majusi dengan gelar “Pahlawan Agama.”[10] Semoga Allah I meridhai para sahabat dan Ummahatul Mukminin para istri Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam-.

Lihatlah wahai kaum Muslimin, betapa besar ke-bencian dan kotornya sekte ini yang menyimpang dari agama, dan betapa buruk serta kotornya ucapan-ucapan mereka yang dialamatkan kepada manusia-manusia terbaik setelah para nabi, padahal mereka di-puji oleh Allah dan Rasul-Nya, dan umat telah sepakat akan keadilan dan keutamaannya. Serta sejarah telah mencatat segala kebaikan, kepeloporan dan kesungguhan mereka dalam menegakkan agama Islam.
-----------------------------------------------------------------

[1] Al-Kulaini, Furu'ul Kaafi, 115
[2] Al-Majlisi, Biharul Anwar, juz 69, hal. 137 dan 138. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Ali bin Husain dan semua Ahlul Bait berlepas diri dari hal ini, dan ini adalah tuduhan yang dilancarkan orang-orang Rafidhah terhadap Ahlul Bait. Semoga Allah memerangi mereka, bagaimana bisa mereka berpaling.
[3] Tafsir al-Qummi, 1/390
[4] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 30/230
[5] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 30/236
[6] Jibt adalah sihir, sebutan yang digunakan untuk sihir, tukang sihir, tukang ramal, dukun, berhala dan sejenisnya (editor).
[7] Ihqaqul Haq, 1/337. Pembaca budiman, silakan lihat doa Shanamai Quraisy di bagian akhir buku ini.
[8] Al Majlisi, Risalah al-'Aqaaid, 58
[9] Ibrahim al-Jabhan – semoga Allah menjaganya-, Tabdiduzh Zhalam wa Tanbiihun Niyaam,, 27
[10] Abbas al-Qummi, al-Kuna wal Alqaab, 2/55

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Aqidah Syiah Rafidhah tentang al-Qur'an yang Dijaga Keotentikannya oleh Allah

Aqidah Syiah Rafidhah
Rafidhah yang dikenal dewasa ini dengan Syi'ah, mengatakan bahwa al-Qur'anul Karim yang ada pada kita (yang kita kenal ini) bukan al-Qur'an yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam karena sudah mengalami perubahan, penggantian, penambahan dan pengurangan.

Mayoritas periwayat hadits Syi'ah berkeyakinan adanya perubahan dalam al-Qur'an, sebagaimana dikatakan oleh an-Nuuri ath-Thabrasi dalam bukunya Fashlul Khitab fi Istbat Tahriifi Kitabi Rabbil Arbaab.[1]

Muhammad bin Ya'kub al-Kulaini berkata dalam bukunya Ushuulul Kaafi pada bab: Yang Mengumpulkan dan Membukukan al-Qur'an Hanya Para Imam, diriwayatkan dari Jabir, dia berkata saya mendengar Abu Ja'far berkata: “Siapa yang mengaku telah mengumpulkan al-Qur'an dan membukukan seluruh isinya sebagaimana yang diturunkan Allah, maka sesungguhnya ia seorang pendusta, tidak ada yang mengumpulkan dan menghafalkannya, sebagaimana diturun-kan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, melainkan Ali bin Abi Thalib dan para imam sesudahnya.”[2]

Dari Jabir, dari Abu Ja'far alaihissalam, dia mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang mampu me-nyangka bahwa dia mempunyai semua al-Qur'an baik yang lahir maupun yang batin kecuali orang-orang yang diberi wasiat.”[3]

Dari Hisyam bin Salim, dari Abu Abdillah, beliau berkata: “Sesungguhnya al-Qur'an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ada tujuh belas ribu ayat.”[4] Berarti al-Qur'an yang diyakini oleh orang Rafidhah adalah tiga kali lipat lebih banyak dari al-Qur'an yang ada pada kita Ahlus Sunnah yang Allah berjanji akan menjaganya Kita berlindung kepada Allah dari ke-burukan mereka.

Dijelaskan oleh Ahmad ath-Thabrasi dalam buku-nya al-Ihtijaj, bahwa Umar berkata kepada Zaid bin Tsabit:
“Sesungguhnya Ali membawa al-Qur'an yang isi-nya membongkar aib kaum Muhajirin dan Anshar, ka-rena itu kami mempunyai pendapat untuk menyusun sendiri al-Qur'an, dari situ kita menghilangkan kejelekan-kejelekan dan rusaknya kehormatan orang-orang Anshar.” Maka Zaid memenuhi permintaan itu, dan berkata: “Jika saya telah merampungkan penyusunan al-Qur'an, sesuai dengan yang kau minta, kemudian Ali menampakkan al-Qur'an yang disusun dan yang ditulisnya, bukankah ini akan membuat apa yang eng-kau kerjakan sia-sia?”

Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Jika demikian, bagaimana ja-lan keluarnya?” Zaid menjawab: “Engkau lebih me-ngetahuinya.” Maka Umar berkata, “Tak ada jalan lain kecuali dengan membunuhnya dan kita bisa be-bas darinya.” Dari situ Umar merancang cara pembu-nuhannya dengan menugaskan Khalid bin Walid, namun ia gagal dan tak berhasil mewujudkannya.

Kemudian ketika Umar bin al-Khatthab diangkat menjadi khalifah, dia meminta Ali menyerahkan al-Qur'an untuk dirubah di antara mereka, maka Umar berkata: “Wahai Abul Hasan berikanlah Al-Qur'an yang pernah engkau perlihatkan kepada Abu Bakar, sehing-ga kita bisa bersatu mengikutinya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menjawab: “Mustahil, tidak ada alasan untuk bisa me-nyerahkan al-Qur'an ini kepadamu, dulu saya pertun-jukkan al-Qur'an ini kepada Abu Bakar untuk dija-dikan saksi atasnya, dan kalian tidak ada alasan lagi pada Hari Kiamat untuk mengatakan:
إِنَّا كُنَّا عَنْ هذا غافِلِينَ  الأعراف
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (Al-A’raf: 172).
ما جئتنا الأعراف
“Dan sesudah kamu datang.” (Al-A’raf: 129)[5]

Sungguh al-Qur'an ini tidak boleh ada yang me-nyentuhnya melainkan orang-orang yang suci dan orang yang telah kuwasiatkan kepadanya dari anak cucuku.” Umar berkata: “Jika demikian, kapan waktu untuk menampakkan al-Qur'an ini?” Ali bin Abi Thalib menjawab: “Di saat salah seorang penerus dari anak cucuku tampil, memperlihatkan al-Qur'an tersebut dan mengajak manusia untuk mengikutinya.”[6]

Meskipun orang-orang Syi'ah berpura-pura berlepas diri dari bukunya an-Nuuri at-Thabrasi dengan berpegangan pada prinsip taqiyyah, sesungguhnya buku ini memuat beratus-ratus teks dari tokoh-tokoh mereka dalam buku-buku yang mereka akui. Buku-buku tersebut jelas mengungkap pengubahan (al-Qur'an) ini, tapi mereka tak menginginkan adanya keributan karena tersebarluasnya kejanggalan aqidah mereka tentang al-Qur'an ini.

Setelah jelas aqidah mereka tentang al-Qur'an, maka nampak bahwa di sana ada dua al-Qur'an: Per-tama, al-Qur'an yang diketahui kaum Muslimin. Kedua, al-Qur'an yang disembunyikan di antaranya yang memuat surat al-Wilayah.

Di antara isapan jempol kaum Syi'ah Rafidhah bahwa ada ayat yang dihapuskan dari al-Qur'an seba-gaimana disebutkan oleh an-Nuri at-Thabrasi dalam kitabnya Fashlul Khitab fi Itsbat Tahriifi Kitabi Rabbil Arbaab, ada sebuah ayat:
أَلَمْ نَشْرَحْ
Ayat itu berbunyi:
وَجَعَلْنَا عَلِيًّا صِهْرَكَ
“Dan telah Kami tinggikan namamu, dengan Ali sebagai menantumu.”

Ayat ini dihilangkan dari surat al-Insyirah.[7] Tanpa malu-malu mereka mengatakan hal ini, padahal mereka tahu bahwa ini adalah surat Makkiyyah (surat yang diturunkan sebelum Nabi shallallahu 'anhu  hijrah ke Madinah), dan pada saat itu Ali belum menjadi menantu Nabi shallallahu 'anhu di Makkah.

----------------------------------------------------------------------

[1]  Husain bin Muhammad Taqi an-Nuuri ath-Thabrasi, Fashlul Khitab, 32
[2]  Al-Kulaini, Ushulul Kafi, 1/228
[3]  Al-Kulaini, Ushulul Kafi, 1/285
[4]  Al-Kulaini, Ushulul Kafi, 2/634. Syaikh mereka al-Majlisi telah menguatkan riwayat ini, dia mengatakan dalam kitabnya Mir'aatul Ma'quul 12/525: "Hadits ini adalah dikuatkan", lalu berkata: "Riwayat ini shahih, dan tidak diragukan lagi bahwa riwayat ini dan riwayat shahih lain yang banyak, jelas menyatakan bahwa al-Qur'an telah dikurangi dan dirubah. Menurut saya, semua riwayat dalam permasalahan ini maknanya mutawatir.” (Mutawatir adalah berita yang diriwayatkan oleh sepuluh perawi lebih dan tidak diragukan lagi kebenarannya penj).
[5]  Catatan: Penulis Syi’ah ini dengan gegabah memotong ayat yang berkaitan dengan Musa yang menunjukkan pengertian “Se-sudah kamu datang.” Tapi ia membawa ayat itu dengan mak-sud, “Kamu tidak datang.” ed.
[6]  Ath-Thabrasi, al-Ihtijaj, 225  dan kitab Fashlul Khitab, 7
[7]  An-Nuri at-Thabrasi, Fashlul Khitab fi Itsbat Tahriifi Kitabi Rabbil Arbaab, 347.

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Aqidah Syiah Rafidhah tentang Sifat-sifat Allah

Aqidah Syiah, Sifat-sifat Allah
Syiah Rafidhah adalah sekte yang pertama kali mengatakan bahwa Allah azza wa jalla berjisim (bertubuh seperti tubuh makhluk).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v mengatakan bahwa yang mempelopori kebohongan ini dari sekte Rafidhah adalah Hisyam bin al-Hakam,[1] Hisyam bin Salim al-Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman al-Qummi, dan Abu Ja'far al-Ahwal.[2]

Mereka ini adalah para tokoh Syi'ah Itsna 'Asyariy-yah, yang pada akhirnya mereka menjadi sekte Jahmiy-yah yang mengingkari sifat-sifat Allah azza wa jalla.

Sebagaimana riwayat-riwayat mereka yang men-sifati Allah dengan sifat-sifat negatif, yang mereka kukuhkan sebagai sifat-sifat yang kekal bagi Allah azza wa jalla.

Ibnu Babawaih telah meriwayatkan lebih dari tujuh puluh riwayat yang menyatakan bahwa Allah tidak disifati dengan waktu, tempat, seperti apa, bergerak, berpindah, tidak tersifati dengan sifat-sifat yang ada pada jisim, tidak berupa materi, jisim dan bentuk.[3]

Tokoh-tokoh mereka tetap berpijak di atas konsep yang sesat ini, dengan meniadakan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits.

Sebagaimana mereka juga mengingkari turunnya Allah azza wa jalla ke langit dunia, ditambah lagi perkataan mereka tentang al-Qur'an bahwa ia adalah makhluk, dan mereka juga mengingkari bahwa Allah bisa dilihat di akhirat nanti.

Disebutkan dalam buku Biharul Anwar bahwa Abu Abdullah Ja'far ash-Shadiq pernah ditanya dengan sua-tu pertanyaan, apakah Allah azza wa jalla bisa dilihat pada Hari Kiamat? Maka ia menjawab: “Mahasuci Allah, dan Maha tinggi setinggi-tingginya, sesungguhnya mata tidak bisa melihat kecuali kepada benda yang memiliki warna dan berkondisi tertentu, sedangkan Allah azza wa jalla Dzat yang menciptakan warna dan yang menentukan kondisi.”[4]

Bahkan orang-orang Syi'ah mengatakan: “Jika ada seseorang menisbatkan kepada Allah sebagian si-fat, seperti sifat Allah dapat dilihat, maka orang tadi dihukumi murtad (keluar dari agama), sebagaimana di-sinyalir oleh tokoh mereka Ja'far an-Najafi.[5]

Ketahuilah bahwa sesungguhnya melihat Allah azza wa jalla adalah haq, benar adanya, ditetapkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah yaitu melihat Allah tak bisa dibayangkan dengan detail dan tak bisa diperagakan, sebagaimana firman Allah azza wa jalla:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ { 22 } إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ { 23 } سورة القيامة
“Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka me-lihat.” (Al-Qiyamah: 22-23)

Dalil dari as-Sunnah bahwa Allah azza wa jalla bisa dilihat di Hari Kiamat, yaitu hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin Abdullah al-Bajali t, beliau berkata:
كُنَّا جُلُوْسًا مَعَ رَسُوْلُ اللهِ r فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ أَرْبَعَ
عَشْرَ ةَ فَقَالَ: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا كَمَا تَرَوْنَ هَذَا، لاَ تُضَامُوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ
“Kami pernah duduk bersama Rasulullah -shalallahu 'alaihi wa sallam-, kemudian beliau melihat bulan purnama pada ma-lam empat belas, maka beliau bersabda: “Kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata kepala, se-bagaimana kalian melihat bulan ini dan tidak bersusah-susah dalam melihat-Nya.”

Dan banyak lagi ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang membicarakan tentang hal ini yang tidak mung-kin kita ungkap di sini.[6]
-----------------------------------------------------------------------

[1] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, 1/20
[2] I'tiqadaat Firaqul Muslimin wa Musyrikin, 97
[3] Ibnu Babawaih, at-Tauhid, 57
[4] Biharul Anwar, Al Majlisi, hal. 4/31
[5] Ja'far an-Najafi, Kasyful Ghitha', 417
[6] Silakan lihat kembali buku-buku Ahlus Sunnah wal Jama'ah ten-tang ru'yah, seperti kitab ar-Ru'yah karangan ad-Daruquthni, bu-ku karangan al-Lalikai dan sebagainya.

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Aqidah Bada’ yang Diyakini oleh Syiah Rafidhah

aqidah syiah
Al-Bada' artinya tampak, yang sebelumnya masih tersembunyi atau berarti pula munculnya pendapat baru. Al-Bada' dengan kedua arti di atas berkait erat de-ngan didahuluinya ketidaktahuan, dan munculnya pe-ngetahuan baru, kedua sifat tersebut mustahil bagi Allah, tetapi Rafidhah menisbatkan sifat bada' ini ada pada Allah.

Ar-Rayyan bin as-Shalt berkata: “Saya pernah mendengar ar-Ridha berkata: “Allah tidak mengutus Nabi kecuali diperintahkan untuk mengharamkan khamr, dan diperintahkan untuk menetapkan sifat al-Bada' bagi Allah.”[1]

Abu Abdillah berkata: “Tidak ada ibadah kepada Allah yang lebih mulia daripada berkeyakinan ada sifat al-Bada' pada Allah.”[2] Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari tuduhan seperti ini.

Bayangkan wahai saudara seiman, bagaimana mereka menisbatkan kebodohan kepada Allah I, se-dang Allah berfirman tentang Dzat-Nya sendiri:
( قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ )
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, ke-cuali Allah’.” (An-Naml: 65)

Di balik itu Rafidhah berkeyakinan bahwa para Imam mereka mengetahui segala ilmu, tidak ada yang samar sedikitpun.

Apakah ini adalah aqidah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam?!
------------------------------------------------------------------ 

[1]       Ushuulul Kaafi, 40
[2]       Al-Kulaini, Ushuulul Kaafi dalam Kitabut Tauhid, 1/331

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Berbagai Macam Sekte Syiah Rafidhah

Sekte Syiah
Dijelaskan dalam kitab Daairatul Maarif bahwa Syi'ah ini bercabang-cabang menjadi lebih dari tujuh puluh tiga golongan yang terkenal.[1]

Bahkan disinyalir sendiri oleh seorang Rafidhah bernama Mir Baqir ad-Damad[2] bahwa hadits yang menjelaskan tentang terbaginya umat menjadi 73 golongan adalah Syi'ah, dan yang selamat dari golong-an-golongan ini adalah Syi'ah al-Imamiyyah.

Dikatakan oleh al-Maqrizi bahwa golongan mere-ka berjumlah sampai tiga ratus golongan.[3]
Disebutkan oleh asy-Syahrastani bahwa Rafidhah terbagi menjadi lima bagian: al-Kisaaniyyah, az-Zaidiyyah, al-Imamiyyah, al-Ghaaliyah dan al-Isma'iliyyah.[4]

Al-Baghdadi berkata: “Rafidhah setelah masa Ali bin Abi Thalib t terbagi menjadi empat golongan, Zaidiyyah, Imamiyyah, Kisaniyyah dan Ghulaat”[5] dengan satu catatan bahwa Zaidiyyah tidak termasuk ke dalam golongan Rafidhah, namun ada kelompok al-Jarudiyyah sempalan dari Zaidiyyah yang masuk ke dalam Rafidhah.
--------------------------------------------------------------

[1] Daairatul Ma'arif, 4/67
[2] Dia adalah Baqir bin Muhammad al–Istirabadi, lebih dikenal de-ngan nama Mir ad-Dammad, meninggal tahun 1041. Lihat bio-grafinya dalam buku al-Kuna wal Alqaab¸ karya Abbas al-Qummi: 2/226.
[3] Al-Maqrizi, al-Khutat, 2/351
[4] Asy-Syahrastani, al-Milal wan Nihal, 147
[5] Al-Baghdadi dalam al-Farqu Bainal Firaq, 41

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Sebab Penamaan Syiah dengan Rafidhah

syiah rafidhah
Penamaan dengan nama ini disebutkan oleh salah satu pembesar mereka yaitu al-Majlisi dalam kitabnya Biharul Anwar. Dia mengatakan: “Bab tentang keutamaan orang-orang Rafidhah dan terpujinya menamakan diri dengannya.” Kemudian dia menyebutkan ri-wayat dari Sulaiman al-A'masy, dia mengatakan: “Aku memasuki tempat Abu Abdullah Ja'far bin Muhammad. Aku berkata: “Aku menjadi penebusmu, sesungguhnya manusia menamai kita dengan nama Rawafidh (bentuk jamak dari Rafidhah penj), sebenarnya apa makna Rawafidh?” Maka dia berkata: “Demi Allah, se-benarnya bukan mereka yang menamai, tetapi Allah-lah yang menamai kalian dengan nama itu dalam kitab Taurat dan Injil melalui perkataan Musa dan Isa.”[1]

Dikatakan juga, mereka diberi nama Rafidhah di-karenakan mereka mendatangi Zaid bin Ali bin Husain seraya berkata, “Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar, dengan demikian kami akan bergabung bersamamu”, kemudian Zaid menjawab, “Mereka berdua adalah sahabat kakek saya (Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam), justru aku setia dan cinta kepada mereka berdua.” Maka mereka berkata: “Jika demikian kami menolakmu.” Dengan demikian mereka diberi nama “Rafidhah” artinya golongan penolak. Adapun orang-orang yang berbai'at dan setuju dengan Zaid diberi nama Zaidiyyah.[2]

Dalam suatu pendapat dikatakan mereka diberi nama Rafidhah dikarenakan menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar.[3] Dalam pendapat yang lain, diberi nama Rafidhah dikarenakan penolakan mereka terhadap agama.[4]


--------------------------------------------------------

[1] Kitab Biharul Anwar karangan al-Majlisi (65/97). Buku ini ter-
masuk referensi terakhir mereka.
[2] At-Ta'liqaat 'ala Matni Lum'atil I'tiqaad oleh guru kami Syaikh Abdullah al-Jibrin,108.
[3] Maqaalaatul Islamiyyin (1/89). Catatan kaki oleh Muhyiddin Abdul Hamid.
[4] Maqaalaatul Islamiyyin (1/89)

Sumber: dd-sunnah.net
Read More...

Sejarah Lahirnya Syiah Rafidhah

syiah
Syiah Rafidhah lahir ke permukaan ketika seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba' hadir dengan mengaku sebagai seorang Muslim, mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), berlebih-lebihan di dalam menyanjung Ali bin Abi Thalib -radhiallahu 'anhu-, dan mendakwakan adanya wa-siat baginya tentang kekhalifahannya, yang pada akhir-nya ia mengangkatnya sampai ke tingkat ketuhanan. Hal ini diakui oleh buku-buku Syi'ah itu sendiri.

Al-Qummi pengarang buku al-Maqalaat wal Firaq[1] mengaku dan menetapkan akan adanya Abdullah bin Saba' ini dan menganggapnya orang yang pertama ka-li menobatkan keimaman (kepemimpinan) Ali bin Abi Thalib -radhiallahu 'anhu- dan dia akan kembali hidup di akhir zaman. Di samping ia juga termasuk orang yang pertama mencela Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat yang lainnya. Ini diakui juga oleh an-Nubakhti dalam bukunya Firaqus Syi'ah,[2] dan al-Kasyi dalam bukunya yang terkenal Rijalul Kasyi.[3]

Adapun penganut Syi'ah kontemporer yang mengakui adanya sosok Abdullah bin Saba' ini adalah Muhammad Ali al-Mu'allim dalam bukunya: Abdullah bin Saba', al-Haqiqatul Majhulah (Abdullah bin Saba', Sebuah Hakikat yang Terlupakan).[4] Pengakuan meru-pakan argumen yang paling kuat, dan itu semua muncul dari para tokoh senior Syi’ah sendiri.

Al-Baghdadi berkata: “As-Sabaiyyah adalah pengikut Abdullah bin Saba', yang berlebih-lebihan di dalam mengagungkan Ali bin Abi Thalib, sehingga ia mendakwakannya sebagai seorang nabi, sampai kepada pengakuan bahwa dia adalah Allah.”

Al-Baghdadi menambahkan: “Ibnus Sauda' (nama lain Abdullah bin Saba') adalah seorang Yahudi dari penduduk Hirah, berpura-pura menampakkan dirinya beragama Islam sebagai senjata agar bisa memiliki pengaruh dan kepemimpinan pada penduduk Kufah. Dia berkata kepada penduduk Kufah bahwa ia mendapati dalam kitab Taurat bahwa setiap nabi memiliki washi (seorang yang diwasiati untuk menjadi khalifah atau imam). Dan Ali adalah washi-nya Nabi Muhammad -shalallahu 'alaihi wa sallam-.

Asy-Syahrastani menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba' adalah orang yang pertama kali memunculkan pernyataan Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai imam berdasarkan nash.
Demikian juga dikatakan bahwa as-Sabaiyyah adalah sekte yang pertama kali menyatakan tentang hilangnya imam mereka dan akan muncul kembali di kemudian hari.”

Pada masa berikutnya orang-orang Syi'ah meskipun mereka ini (Syi'ah) terbagi menjadi bermacam sekte dan saling berselisih mewarisi keyakinan akan keimaman dan hak Ali sebagai khalifah berdasarkan kepada nash maupun wasiat.[5]

Ini semua merupakan warisan Abdullah bin Saba', selanjutnya mereka pun berkembang biak menjadi ber-puluh-puluh sekte dengan aneka ragam perbedaan pendapat yang banyak sekali.

Dengan demikian jelaslah, bahwa Syi'ah membuat ideologi-ideologi baru seperti adanya wasiat kekhali-fahan Ali bin Abi Thalib, munculnya kembali imam mereka di kemudian hari, menghilangnya imam dan bahkan penuhanan para imam mereka sebagai bukti mereka hanya mengekor kepada Abdullah bin Saba' seorang Yahudi.[6]


 ------------------------------------------------------------------------

[1] Al-Qummi, al-Maqalaat wal Firaq, 10 – 21
[2] An-Nubakhti, Firaqus Syi'ah, 19 – 20
[3] Lihat beberapa riwayat yang ditulis oleh al-Kasyi tentang Ibnu Saba' dan aqidahnya, riwayat no. 170, 171, 172, 173, 174, pada halaman 106 –108.
[4] Buku ini merupakan bantahan terhadap sebuah buku yang ditulis oleh seorang penganut Syi'ah bernama Murtadha al-'Askari ber-judul Abdullah ibnu Saba' wa Asatiir Ukhra (Abdullah bin Saba', Sebuah Ilusi dan Ilusi-ilusi Lain). Penulisnya mengingkari adanya sosok bernama Abdullah bin Saba'.
[5] Yang dimaksud dengan nash adalah penentuan Ali t sebagai khalifah berdasarkan dalil dari al-Qur'an maupun as-Sunnah. Se-dang yang dimaksud wasiat adalah penentuan Ali sebagai khalifah dengan wasiat dari Nabi r sebelum beliau meninggal dunia (penj).
[6] Al-Lalikai: Ushuulu I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 1/22 – 23

#Sumber: dd-sunnah.net
Read More...